Rabu, 27 Agustus 2008

Ruptur Hepar ec. Trauma Tumpul Abdomen

PENDAHULUAN

Trauma adalah salah satu penyebab utama kematian pada semua kelompok usia. Hampir 5 juta kematian terjadi akibat trauma di tahun 1990.3 Pada kelompok tertentu mortalitasnya hanya bisa diimbangi oleh kanker dan penyakit atherosklerosis.1 Evaluasi dan penatalaksanaan adalah komponen terpenting pada penanganan penderita dengan trauma yang berat. Sekurangnya 25% dari seluruh korban trauma memerlukan tindakan laparotomi eksplorasi.2 Karena cedera intra-abdominal yang tidak terdeteksi adalah penyebab tersering kematian yang daat dicegah akibat trauma, sangat dianjurkan bagi kita untuk memiliki tingkat kecurigaan yang lebih tinggi terhadap penderita-penderita trauma tersebut.

Beberapa faktor, seperti mekanisme trauma, daerah tubuh yang mengalami cedera, status hemodinamik dan neurologis penderita, cedera lain yang menyertai, dan sumber daya institusi rumah sakit, dapat mempengaruhi pendekatan diagnostik dan output dari trauma abdomen tersebut.

TRAUMA TUMPUL ABDOMEN

Etiologi dari trauma tumpul abdomen tergantung dari lingkungan di sekitar institusi rumah sakit tersebut berada. Di sentral trauma metropolitan, penyebab tersering adalah kecelakaan lalu lintas (50-75%) yang meliputi tabrakan antar kendaraan bermotor (antara 45-50%) dan tabrakan antara kendaraan bermotor dengan pejalan kaki.1,3 Tindakan kekerasan, jatuh dari ketinggian, dan cedera yang berhubungan dengan pekerjaan juga sering ditemukan. Trauma tumpul abdomen merupakan akibat dari kompresi, crushing, regangan, atau mekanisme deselerasi.

Enam hingga 25% dari insidensi trauma tumpul abdomen yang memerlukan tindakan laparotomi eksplorasi.1,4 Organ yang terkena adalah lien (40-55%), hepar (35-45%), dan organ retroperitoneal (15%).1

PEMERIKSAAN FISIK

Meskipun pemeriksaan fisik merupakan langkah pertama untuk evaluasi perlu tidaknya dilakukan tindakan pembedahan, tetapi validitasnya diragukan pada trauma tumpul abdomen. Pemeriksaan fisik ini tidak dapat diandalkan terutama bila ditemukan adanya efek dari alkohol, obat terlarang, analgesik atau narkotik, atau penurunan kesadaran.1,2,3 Selain itu juga sulitnya akses untuk palpasi organ-organ pelvis, abdomen atas, dan retroperitoneal menyebabkan pemeriksaan fisik ini tidak dapat diandalkan.2 Fraktur iga bawah, fraktur pelvis, dan kontusio dinding abdomen juga dapat menyerupai tanda-tanda peritonitis. Powell et al melaporkan bahwa pemeriksaan fisik saja hanya memiliki tingkat akurasi sebesar 65% dalam mendeteksi ada tidaknya perdarahan intra-abdomen.3 Pemeriksaan fisik abdomen inisial menghasilkan 16% positif palsu, 20% negatif palsu, 29% nilai perkiraan positif, dan 48% nilai perkiraan negatif untuk menentukan perlu tidaknya laparotomi eksplorasi.1

RADIOGRAFI

X-ray toraks berguna untuk evaluasi trauma tumpul abdomen karena beberapa alasan. Pertama, dapat mengidentifikasi adanya fraktur iga bawah. Bila hal tersebut ditemukan, tingkat kecurigaan terjadinya cedera abdominal terutama cedera hepar dan lien meningkat dan perlu dilakukan evaluasi lebih lanjut dengan CT scan abdomen-pelvis. Kedua, dapat membantu diagnosis cedera diafragma. Pada keadaan ini, x-ray toraks pertama kali adalah abnormal pada 85% kasus dan diagnostik pada 27% kasus.1 Ketiga, dapat menemukan adanya pneumoperitoneum yang terjadi akibat perforasi hollow viscus. Sama dengan fraktur iga bawah, fraktur pelvis yang ditemukan pada x-ray pelvis dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya cedera intra-abdominal sehingga evaluasi lebih lanjut perlu dilakukan dengan CT scan abdomen-pelvis. Pyelografi intravena dan sistogram retrograd merupakan tes yang berguna dalam evaluasi penderita dengan hematuria.

Focused Assessment with Sonography for Trauma

Pemeriksaan Focused Assessment with Sonography for Trauma (FAST) telah diterima secara luas sebagai alat untuk evaluasi trauma abdomen. Alatnya yang portabel sehingga dapat dilakukan di area resusitasi atau emergensi tanpa menunda tindakan resusitasi, kecepatannya, sifatnya yang non-invasif, dan dapat dilakukan berulang kali menyebabkan FAST merupakan studi diagnostik yang ideal. Namun tetap didapatkan beberapa kekurangan, terutama karena ketergantungannya terhadap jumlah koleksi cairan bebas intraperitoneal untuk mendapatkan hasil pemeriksaan yang positif. Cedera hollow viscus dan retroperitoneal sulit dideteksi dengan pemeriksaan ini. Mengenai keuntungan dan kerugian FAST dapat dilihat pada tabel berikut ini.

Tabel 1. Keuntungan dan kerugian FAST2

Text Box: KEUNTUNGAN Non-invasif Tidak menghasilkan radiasi Dapat digunakan di ruang resusitasi atau emergensi Dapat dilakukan berulang kali Dapat dilakukan pada evaluasi awal Murah KERUGIAN Hasilnya tergantung keahlian pemeriksa Sulit dilakukan pada penderita dengan obesitas Terdapat interposisi dengan udara Sensitifitas yang rendah untuk koleksi cairan bebas < 500 cc Negatif palsu : cedera retroperitoneal dan hollow viscus

Ambang minimun jumlah hemoperitoneum yang dapat terdeteksi masih dipertanyakan. Kawaguchi et al dapat mendeteksi sampai 70 cc, sedangkan Tilir et al mengemukakan bahwa 30 cc adalah jumlah minimum yang diperlukan untuk dapat terdeteksi dengan USG. Mereka juga menyimpulkan strip kecil anekoik di Morison pouch menggambarkan cairan sebanyak kurang lebih 250 cc, sementara strip selebar 0,5 dan 1 cm menggambarkan koleksi cairan sebesar 500 cc dan 1 liter.2

Beberapa penelitian akhir-akhir ini mempertanyakan keandalan FAST pada evaluasi trauma tumpul abdomen. Stengel et al melakukan meta-analisis dari 30 penelitian prospektif dengan kesimpulan pemeriksaan FAST memiliki sensitifitas rendah yang tidak dapat diterima (unacceptably) untuk mendeteksi cairan intra-peritoneal dan cedera organ padat. Mereka merekomendasikan penambahan studi diagnostik lain dilakukan pada penderita yang secara klinis dicurigai trauma tumpul abdomen, apapun hasil temuan pemeriksaan FAST.1 Literatur lain menunjukkan sensitifitas berkisar antara 78-99% dan spesifisitas berkisar antara 93-100%.2,3 Rozycki et al dari studinya yang melibatkan 1540 penderita melaporkan sensitifitas dan spesifisitas sebesar 100% pada penderita trauma tumpul abdomen.3

Lavase Peritoneal Diagnostik (Diagnostic Peritoneal Lavage = DPL)

Root et al pada tahun 1965 memperkenalkan DPL sebagai tes diagnostik yang cepat, akurat, dan murah untuk deteksi perdarahan intra-peritoneal pada trauma abdomen. Kerugiannya adalah bersifat invasif, risiko komplikasi dibandingkan tindakan diagnostik non-invasif, tidak dapat mendeteksi cedera yang signifikan (ruptur diafragma, hematom retroperitoneal, pankreas, renal, duodenal, dan vesica urinaria), angka laparotomi non-terapetik yang tinggi, dan spesifitas yang rendah. Dapat juga didapatkan positif palsu bila sumber perdarahan adalah imbibisi dari hematom retroperitoneal atau dinding abdomen. Adapun indikasi dan kontraindikasi DPL dapat dilihat pada tabel berikut ini.

Tabel 2. Indikasi dan Kontraindikasi DPL2

Text Box: IINDIKASI Pemeriksaan fisik yang meragukan Syok atau hipotensi yang tidak dapat dijelaskan Penurunan kesadaran (cedera kepala tertutup, obat-obatan) Penderita dalam narkose umum untuk prosedur ekstra-abdominal Cedera medulla spinalis KONTRAINDIKASI Indikasi untuk laparotomi eksplorasi sudah jelas Relatif 	Riwayat laparotomi eksplorasi sebelumnya 	Kehamilan 	Obesitas

Kriteria untuk DPL positif pada trauma tumpul abdomen tercantum pada tabel 3. Pada penderita dengan hemodinamik tidak stabil, DPL positif mengindikasikan perlunya tindakan laparotomi segera. Namun pada penderita dengan hemodinamik stabil, kriteria DPL terlalu sensitif dan non-spesifik. Oleh karena itu, bila DPL positif berdasarkan aspirasi darah gross atau hitung sel darah merah (SDM) pada populasi penderita dengan hemodinamik stabil, tidak mutlak artinya diperlukan tindakan laparotomi segera untuk menghindari dilakukannya eksplorasi yang non-terapetik.1,2

Beberapa penelitian menunjukan tingkat akurasi sebesar 98-100%, sensitifitas sebesar 98-100%, dan spesifisitas sebesar 90-96%. Pemeriksaan CT scan abdomen-pelvis lebih lanjut dapat meningkatkan spesifitas untuk menentukan cedera yang memerlukan tindakan pembedahan.

Tabel 3. Kriteria DPL positif pada trauma tumpul abdomen1,2

100.000 sel darah merah/mm3 > 500 sel darah putih/mm3 Adanya sisa makanan, bile, atau bakteri Pewarnaan Gram positif Kadar amilase > 175 IU/dL" v:shapes="_x0000_s1026" align="left" width="246" height="112" hspace="12">

Computed Tomography Scan (CT Scan)

Indikasi dan kontraindikasi pemeriksaan CT scan abdomen dapat dilihat pada tabel berikut ini. Kekurangannya adalah penderita yang harus dibawa ke ruangan CT scan dan biayanya mahal dibandingkan dengan modalitas lainnya. CT scan pada cedera organ padat digunakan untuk menentukan derajat cedera dan evaluasi ekstravasasi kontras.

Tabel 4. Indikasi dan kontraindikasi CT scan abdomen2

Text Box: IINDIKASI Trauma tumpul Hemodinamik stabil Pemeriksaan fisik yang normal atau meragukan Mekanisme : trauma duodenal atau pankreas Penurunan hematokrit pada penderita yang ditangani secara non-operatif KONTRAINDIKASI Indikasi laparotomi eksplorasi yang sudah jelas Hemodinamik tidak stabil Agitasi Alergi terhadap media kontras

CT abdomen dan pelvis adalah studi diagnostik utama pada trauma abdomen dengan hemodinamik stabil. Sensitifitasnya berkisar antara 92% dan 97,6% dengan spesifitas yang tinggi sekitar 98,7%.1 CT dapat menyediakan informasi yang berguna berkaitan dengan cedera organ spesifik dan lebih unggul dalam hal mendiagnosis cedera retroperitoneal dan pelvis. Namun, CT kurang sempurna dalam mengidentifikasi cedera hollow viscus sehingga bila timbul kecurigaan terjadinya cedera tersebut, DPL dapat dilakukan sebagai pemeriksaan tambahan.

LAPARASKOPI

Laparoskopi diagnostik pada trauma tumpul abdomen merupakan ilmu yang masih dalam perkembangan dan masih terbatas penggunaannya. Bila dilakukan secara selektif pada penderita dengan hemodinamik stabil, laparoskopi merupakan tindakan yang aman dan secara teknis memungkinkan. Chol et al melaporkan terjadi pengurangan angka laparotomi negatif atau non-terapetik dengan laparoskopi diagnostik tersebut.1 Namun laparoskopi adalah tindakan yang bersifat invasif serta mahal dan nampaknya saat ini tidak lebih unggul dari modalitas lain dalam penentuan keputusan.2

RUPTUR HEPAR

PENATALAKSANAAN NON-OPERATIF

Merupakan pilihan pertama pada penderita dengan hemodinamik stabil. Angka keberhasilan yang tinggi tidak tergantung pada derajat keparahan berdasarkan CT scan, atau derajat hemoperitoneum yang terjadi.1 Keuntungan dari penatalaksanaan non-operatif adalah menghindari terjadinya laparotomi non-terapetik beserta komplikasinya, mengurangi kebutuhan transfusi, dan komplikasi intra-abdominal yang lebih sedikit.1 Belum ada literatur yang menegaskan bahwa penatalaksanaan non-operatif meningkatan risiko tidak terdiagnosisnya cedera intra-abdominal lain yang berhubungan.1

CT abdomen merupakan studi yang paling sensitif dan spesifik dalam mengidentifikasi dan menentukan derajat kerusakan hepar dan lien.1 Adanya kontras yang bebas atau perdarahan yang sedang berlangsung merupakan indikasi untuk angiografi dan embolisasi.1

Penatalaksanaan non-operatif meliputi observasi tanda vital, pemeriksaan fisik, dan nilai laboratorium yang dilakukan secara serial. Bila salah satu memburuk, maka hal tersebut merupakan indikasi untuk intervensi pembedahan. Tirah baring total atau pembatasan aktifitas dan CT scan serial telah dibantah kegunaannya oleh beberapa literatur.1 Waktu untuk kembali ke aktifitas normal tergantung pada luas dan derajat cedera.

PENATALAKSANAAN OPERATIF

Hepar. Apapun mekanisme traumanya, prinsip utama pada operatif trauma adalah pemaparan (exposure) dan hemostasis, terutama pada trauma hepar. Setelah dilakukan mobilisasi hepar yang adekuat, laserasi simpel dapat ditangani dengan penekanan langsung, elektrokauterisasi, koagulasi sinar argon, dan agen hemostatik topikal.1 Teknik finger fracture dengan ligasi langsung pada pembuluh darah yang ruptur juga dapat dilakukan.

Pada cedera yang berat akan lebih sulit untuk mencapai hemostasis. Jika teknik yang telah disebutkan gagal, dilakukan kompresi portal triad (the Pringle maneuver) yang akan mengontrol perdarahan yang berasal dari vena porta dan sistem arterial hepatik. Jika manuver tersebut efektif, pada laserasi dapat dilakukan finger fractionation dan ligasi langsung pembuluh darah yang ruptur. Setelah hemostasis tercapai, dilakukan tampon pada laserasi dengan menggunakan flap omental. Jahitan-dalam hepar sebaiknya tidak dilakukan lagi.1

Bila manuver Pringle tersebut gagal, perlu dicurigai adanya cedera vena hepatik atau cedera vena cava inferior retrohepatik. Pada keadaan ini, mendapatkan kontrol vaskuler adalah sangat menantang. Eksklusi hepatik total atau atriocaval shunt merupakan pilihan yang tidak dapat dianggap mudah. Pada cedera seperti ini perlu dipertimbangkan lebih dalam untuk melakukan teknik damage control, yang meliputi abdominal packing dan penutupan abdomen sementara.

Penggunaan angiografi pasca-bedah dan embolisasi dapat membantu. Pada penderita dengan ekstravasasi arterial aktif, beberapa metode embolisasi dapat membantu menghentikan sumber perdarahan. Reseksi hepar dicadangkan untuk operasi selanjutnya ketika debridement jaringan hepar yang mati dilakukan.

Lien. Doktrin dasar pemaparan dan hemostasis juga berlaku pada trauma lien. Mobilisasi lien untuk mencapai luka adalah sangat penting. Hal tersebut, dalam hubungannya dengan status fisiologis penderita, memberikan kemampuan kepada operator untuk menentukan apakah tindakan yang akan diambil berupa splenorrhaphy atau splenektomi. Teknik splenorrhaphy meliputi elektrokauterisasi, koagulator sinar argon, agen hemostatik topikal, compressive mesh, dan splenektomi parsial.

Komplikasi

Penatalaksanaan trauma, baik yang sesuai maupun yang tidak sesuai, dapat mengakibatkan berbagai komplikasi seperti cedera yang tidak terdeteksi, abses intra-abdomen, berbagai tipe fistula, pankreatitis, sindroma kompartemen abdominal, fasciitis nekrotikans, dan dehisensi luka. Tingkat kecurigaan yang tinggi adalah kunci utama dalam mendiagnosis dan menangani komplikasi tersebut.

Kesimpulan

Trauma abdomen yang tidak terdeteksi adalah salah satu penyebab utama kematian dapat dicegah. Evaluasi dan penanganan trauma abdomne tergantung dari berbagai faktor, yaitu mekanisme trauma, lokasi cedera, status hemodinamik, status neurologis, cedera lain yang berhubungan, dan sumber daya institusi rumah sakit yang tersedia.

Perbandingan berbagai modalitas diagnostik untuk mengevaluasi trauma tumpul dan trauma tembus abdomen dapat dilihat pada tabel 5 di halaman berikut.

Diagnostik dan penanganan inraoperatif organ spesifik dapat dilihat pada tabel 6 di halaman 17b.


Gambar 1. Algoritma trauma tumpul abdomen.6

Gambar 3. USG. Morison pouch normal.

Gambar 4. USG. Koleksi cairan di Morison pouch.

Gambar 5. USG. Resesus splenorenal normal.

Gambar 6. USG. Koleksi cairan di resesus splenorenal.

Gambar 7. CT scan. Laserasi lien dan hemoperitoneum.

Gambar 8. CT scan. Laserasi hepar.

Gambar 9. CT scan. Cedera ginjal kanan dengan darah di perirenal space

DAFTAR PUSTAKA

1. Todd SR. Critical Concepts in Abdominal Injury. Critical Care Clinics 2004; 20(1).

2. Townsend. Management of Spesific Injury. Dalam : Sabiston Textbook of Surgery 16th Edition. Philadelphia : W.B. Saunders Co., 2001; h331-43.

3. De Jong, Wim, Buku Ajar Ilmu Bedah Ed.2, Jakarta, EGC, 2004.

4. Mansjoer, Arief, Kapita Selekta Kedokteran ed.3 jilid 2, Jakarta, Media Aesculapius Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2000.

5. Sabiston, David C. Buku Ajar Bedah (Essentials of Surgery), Jakarta, EGC, 1994.

6. Udeani J, Ocampo H. Abdominal Trauma, Blunt. 2004. Http // www.emedicine.com.

7. Komar AR, Patel P. Abdominal Trauma, Penetrating. 2002. Http // www.emedicine.com.

8. Kaplan LJ. Abdominal Trauma, Penetrating. 2003. Http // www.emedicine.com.

9. Mackersie RC. Abdominal Trauma. Dalam : Norton et al. Surgery : Basic Science an Clinical Evidence. New York : Springer-Verlang Inc., 2001; h825-45.

1 komentar:

dr.Rimbun mengatakan...

maaf dok, tolong di update tulisannya...thanks.