Sabtu, 22 November 2008

LUKA BAKAR


Luka bakar adalah kerusakan kulit (dapar disertai jaringan di bawahnya) yang disebabkan oleh perubahan suhu. Luka bakar dapat berupa luka akibat suhu panas atau sangat panas (combustio); bahan kimia (cedera kimia); arus listrik (luka elektrik); dan karena suhu yang sangat dingin (sengatan dingin dan frostnip).
Diagnosis luka bakar dapat ditegakkan berdasarkan :
1. kedalaman
2. luas
3. penyebab
4. lokas

Anatomi Kulit
Kulit memiliki 3 lapisan utama, yaitu epidermis, dermis dan subkutis. Epidermis terbagi menjadi 7 lapisan, yaitu lapisan basalis, spinosum, granulosum, lucidum, corneum, dan disjunctum. Dermis merupakan bagian yang paling penting di kulit yang sering dianggap sebagai “True Skin”. Terdiri atas jaringan ikat yang menyokong epidermis dan menghubungkannya dengan jaringan subkutis. Tebalnya bervariasi, yang paling tebal pada telapak kaki sekitar 3 mm.
Dermis terdiri atas 2 bagian, yaitu:
a. pars papilare : berisi ujung serabut saraf dan pembuluh darah
b. pars retikulare : berisi serabut-serabut penunjang misalnya serabut kolagen, elastin dan retikulin. (kelenjar kulit)
Serabut-serabut kolagen menebal dan sintesa kolagen berkurang dengan bertambahnya usia. Serabut elastin jumlahnya terus meningkat dan menebal, kandungan elastin kulit manusia meningkat kira-kira 5 kali dari fetus sampai dewasa. Pada usia lanjut kolagen saling bersilangan dalam jumlah besar dan serabut elastin berkurang menyebabkan kulit terjadi kehilangan kelemasannya dan tampak mempunyai banyak keriput.
Dermis mempunyai banyak jaringan pembuluh darah. Dermis juga mengandung beberapa derivat epidermis yaitu folikel rambut, kelenjar sebasea dan kelenjar keringat. Kualitas kulit tergantung banyak tidaknya derivat epidermis di dalam dermis.
Subkutis merupakan lapisan di bawah dermis atau hipodermis yang terdiri dari lapisan lemak. Lapisan ini terdapat jaringan ikat yang menghubungkan kulit secara longgar dengan jaringan di bawahnya. Fungsi Dermis : struktur penunjang, mechanical strength, suplai nutrisi, menahan shearing forces dan respon inflamasi.
Patologi Anatomi
Gambaran luka bakar dimulai dengan daerah koagulasi jaringan pada titik kerusakan maksimal. Mengelilingi daerah koagulasi terdapat daerah stasis yang ditandai dengan aliran darah yang cepat dan terdiri dari sel-sel yang masih bisa diselamatkan. Disekeliling daerah stasis terletak daerah hiperemia, tempat sel kurang rusak dan dapat sembuh sempurna.


Epidemiologi

Luka bakar merupakan cedera yang cukup sering dihadapi dokter. Luka bakar terus berkembang menjadi penyebab kematian dan disability di Amerika Serikat. Perkenalan adanya konsep pusat luka bakar pertama kali pada tahun 1945 oleh US Army. Pelayanan perawatan dari penderita luka bakar membutuhkan interaktif berbagai disiplin ilmu. Luka bakar digolongkan ke dalam penyakit kronis. Penderita luka bakar sering membutuhkan pengawasan rehabilitasi, bedah rekonstruktif, dan dukungan psikososial. Cakupan perawatan klinikal dari luka bakar meliputi perbaikan cairan dan elektrolit tubuh, surgical infection, pemberian nutrisi, kontrol cardiopulmonary, dan perawatan luka.
Kasus luka bakar memiliki distribusi usia dan jenis kelamin yang unik. Dari distribusi usia, kelompok usia 0-6 tahun yang paling tinggi angka kejadiannya. Kemudian disusul oleh kelompok usia 25-35 tahun yang berhubungan dengan kecelakaan kerja. Menurut distribusi jenis kelamin, maka kasus luka bakar banyak terjadi pada laki-laki. Hal ini berhubungan juga dengan pekerjaan laki-laki, contohnya pada pekerja industri berat. Disamping itu, tingkat sosioekonomi dari masyarakat juga mempengaruhi angka insidensnya.

Penanganan Prehospital dan Rujukan Ke Rumah Sakit.
Hal yang perlu diperhatikan oleh penolong adalah melindungi diri sendiri terlebih dahulu. Setelah itu, proses kebakaran itu harus dihentikan secepat mungkin dengan mematikan api yang menjilat, penyiraman (cair) atau penyapuan (bubuk) bahan kimia, atau menghentikan arus listrik yang menjalar pada tubuh korban. Resusitasi jantung paru dilakukan berdasarkan indikasi, dan banyak diperlukan dalam keadaan penderita luka elektrik dengan tegangan tinggi. Jika pasien terbakar dalam ruangan tertutup, terdapat bahaya intoksikasi karbon monoksida (CO), sehingga pasien membutuhkan 100% O2 (dapat diberikan dengan non-rebreathing face mask).
Luka bakar harus dibungkus dengan pembungkus bersih untuk mencegah kontaminasi kuman dan mengurangi nyeri pada luka bakar derajat II akibat sentuhan-sentuhan. Penderita sebaiknya diselimuti dengan selimut bersih untuk menghindari hipotermia.
Lanjutan dari pertolongan pre rumah sakit, penderita dengan luka bakar sedang ataupun berat harus dirujuk ke rumah sakit untuk perawatan definitif. Apabila lama perjalanan transportasi penderita ke rumah sakit tidak melebihi 34 menit, maka penderita tidak memerlukan resusitasi cairan dalam perjalanannya. Namun, apabila lama perjalanan melebihi 45 menit, maka penderita memerlukan bantuan resusitasi cairan dalam perjalanannya.
Tidak semua penderita luka bakar harus dirawat inap di rumah sakit, tetapi ada beberapa indikasi rawat inap pada penderita luka bakar, yaitu sebagai berikut:
1. Luka bakar derajat II > 15% TBSA (Total Body Surface Area).
2. Luka bakar derajat III > 5% TBSA (karena memerluka bedah eksisi dan penutupannya).
3. Luka bakar pada wajah, kaki, tangan, dan perineum.
4. Trauma elektrikal.
5. Trauma jalan napas.
6. Luka akibat pajanan bahan kimia.
7. Luka bakar disertai multi trauma.
8. Penderita dengan usia <10 tahun dan >50 tahun.
9. Terdapat penyakit kronik lain, contohnya DM, hipertensi, dll.

Mortalitas dan Prognosis
Harapan hidup setelah luka bakar sangat erat kaitannya dengan usia penderita, ukuran luka bakar, dan ada tidaknya cedera inhalasi. Karena banyaknya variabel pada luka bakar, termasuk cedera penyerta, penyakit kronik, lamanya waktu pasca luka bakar sebelum dirawat di rumah sakit, dan kejadian-kejadian di sekitar luka bakar, maka mortalitas secara kasar hanya sedikit bernilai dan sering kali menyesatkan dalam usaha menilai prognosis pengobatan. Teknik statistik yang lebih canggih, seperti regresi logistik, atau analisis prosedur kovarians, dapat menilai efek-efek majemuk dari berbagai variabel dan memberikan data yang lebih baik untuk perbandingan antara pusat perawatan luka bakar dan pengaruh faktor-faktor komorbid majemuk.

Penilaian Pasien
Setiap keadaan darurat, maka kita harus terlebih dahulu mengatasi keadaan yang mengancam nyawa pada pasien. Harus kita perhatikan terlebih dahulu jalan napas (Airway), pernapasan (Breathing), keadaan kardiovaskular (Circulation), Disability, Exposure dari pasien yang disebut survei primer. Setelah itu, baru kemudian kita lakukan sekunder survei, yaitu AMPEL dari pasien, keluarga pasien, atau petugas pra-rumah sakit, dan didapatkanlah anamnesis. Kemudian melakukan pemeriksaan dari kepala sampai kaki (head to toe). Dapat juga dilakukan pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan laboratorium, foto rongent, dll.


Pemeriksaan Fisik
Pasien luka bakar merupakan pasien trauma dan evaluasinya perlu dilakukan secara aman dan tangkas menurut petunjuk Advanced Trauma Life Support dari American College of Surgeons. Penyebab ketidakstabilan yang paling dini yang timbul pada pasien luka bakar adalah cedera inhalasi yang berat, yang menimbulkan kerusakan jalan napas atas dan obstruksi, atau keracunan karbon monoksida yang mendekati letal. Pengamatan pertama harus dengan cepat dapat mengenali semua kesulitan-kesulitan ini. Pada pengamatan kedua yang menyeluruh dapat dideteksi adanya ccdera-cedera lain yang menyertainya. Perubahan status neurologik dapat menun¬jukkan adanya cedera kepala tertutup. Tanda-tanda vital dan penilaian denyut perifer memungkinkan interpretasi perubahan-perubahan selanjutnya, khususnya pada pasien-pasien dengan luka bakar melingkar pada ekstremitas. Harus dilakukan suatu pemeriksaan pada abdomen yang cermat sebelum pasien mendapat analgesik dan sedatif.

Survei Primer
• Airway. Bila seorang penderita luka bakar mempunyai riwayat terkurung api disertai tanda-tanda adanya teruma bakar jalan napas, harus segera diperiksa jalan napasnya dan bila nyata ada luka bakar jalan napas harus segera dilakukan tindakan definitif. Trauma bakar faring menyebabkan edema hebat jalan napas atas. Tanda klinis dari penyumbatan jalan napas akibat trauma panas adalah sbb:
o Luka bakar pada wajah
o Hangusnya alis mata dan bulu hidung
o Adanya timbunan karbon dan tanda-tanda inflamasi akut di orofaring
o Sputum yang mengandung arang/ karbon
o Adanya riwayat terkurung dalam kepungan api
• Breathing. Hendaknya selalu dicurigai terjadinya intoksikasi CO apabila seseorang mengalami trauma bakar dilingkungan tetutup. Intoksikasi karbonmonoksida(CO) merupakan salah satu bentuk dari inhalation injury yang merupakan penyebab utama hipoksia setelah asphyxia pada trauma bakar. Hal ini disebabkan oleh karena CO memiliki affinitas 200x lebih banyak pada hemoglobin dibandingkan dengan oksigen yang kemudian akan terjadi penurunan kapasitas pengiriman O2 . CO merupakan gas yang tidak berwarna, tidak berbau, serta tidak memiliki rasa. Tanda keracunan ringan CO adalah lemas, bingung, pusing, mual, dan muntah. Pada keracunan berat dapat terjadi koma. Bila terjadi keracunan lebih dari 60%, penderita dapat meninggal..
• Circulation. Penliaian volume sirkulasi sering sult pada pasien luka bakar berat. Tekanan darah sulit diukur dan hasilnya tidak dipercaya. Untuk mengetahui status sirkulasi dilakukan dengan pengukuran produksi urin/ jam dengan catatan tidak ada osmotik diuresis. Oleh karena itu pada pasien luka bakar harus dipasang kateter. Sebagai patokan mengetahui sirkulasi yang akurat adalah apabila pasien diberi infus cairan dalam jumlah yang menghasilkan produksi urin.
• Disability. Menilai skor GCS, lateralisasi pupil, penilaian motorik.
• Eksposure. Perhatikan jejas yang mengancam nyawa.

Survei Sekunder
Dari anamnesis dapat kita peroleh informasi-informasi yang mempegaruhi penanganan penderita luka bakar. Riwayat trauma bakar sangat penting dalam penanganan luka bakar. Cedera ikutan mungkin dapat terjadi waktu penderita berusaha menghindari api. Ledakan dapat menyebabkan penderita terlempar jauh dan menyebabkan cedera organ tubuh, misalnya jantung, SSP, dll (biomekanikanya). Penting untuk mengetahui waktu atau saat terjadinya trauma bakar. Anamnesis dari penderita atau keluarga, hendaknya juga mencakup riwayat penyakit-penyakit yang sedang diderita penderita, misalnya DM, hipertensi, dll. Juga ditanyakab riwayat alergi terhadap obat tertentu, serta riwayat imunisasi tetanus.

Luas Luka Bakar
Untuk menentukan luas luka bakar dikenal rule of nine pada orang dewasa. Luas kepala and leher, dada, punggung, perut, pinggang dan bokong, ekstremitas atas kiri, ekstremitas atas kanan, tungkai atas kanan, tungkai atas kiri, tungkai bawah &kaki kanan, tungkai bawah & kaki kiri masing-masing 9%. Sisanya 1% adalah daerah genitalia. Pada anak dikenal rumus 10-15-20, serta pada bayi dikenal rumus 10-20.

Penentuan yang lebih tepat didapatkan dengan menggunakan cara menurut Lund and Browder. Penentuan dengan cara ini lebih sulit, lebih tepat, dapat digunakan pada anak dan dewasa.

Pada keadaan darurat dapat digunakan cara cepat yaitu dengan menggunakan luas telapak tangan penderita. Prinsipnya yaitu luas telapak tangan tangan = 1% luas permukaan tubuh.

Kedalaman Luka Bakar
Kedalaman luka bakar penting untuk diketahui untuk menilai beratnya luka bakar, rencana perawatan luka serta meramal hasil akhir dari segi fungsi maupun kosmetik. Apabila terdapat media yang memperlama pajanan panas juga akan menentukan dalamnya luka bakar, contohnya terdapat baju yang ikut terbakar

Luka bakar derajat pertama terutama mengenai epidermis, dan paling sering diakibatkan oleh paparan yang lama terhadap sinar ultraviolet atau paparan panas yang sangat singkat. Luka bakar ini biasanya secara fisiologis tidak penling, dan karenanya tidak dipertimbangkan dalam perhilungan LPTT yang terbakar. Kulit tampak berwarna merah muda atau sedikit merah, kering, dan tanpa tepuh, dan biasanya akan sembuh dalam 2-3 hari. Pengobatan simtomatik dengan kompres dingin guna meringankan nyeri adalah yang terbaik.
Luka bakar yang melibatkan epidermis dan dermis dikenal sebagai luka bakar ketebalan parsial, atau derajat dua, yang selanjutnya dibagi lagi menjadi 3 subtipe: superfisial, dalam, dan tak dapat ditentukan. Luka ketebalan parsial superfisial mudah dikenali dari penampilannya yang basah dan merah, pembentukan bula yang khas, dan kepekaan nyeri yang hebat terhadap rangsang. Luka bakar ini timbul setelah kontak dalam waktu singkat dengan cairan panas, sengatan listrik atau jilatan api. Luka ini akan sembuh spontan dalam waktu 2 minggu setelah cedera.
Luka ketebalan parsial yang dalam definisinya adalah luka yang sembuh dalam waktu lebih dari tiga minggu; penyembuhan yang lama ini sering kali menimbulkan pembentukan jaringan parut. Luka bakar dermal yang dalam timbul akibat terendam dalam cairan yang panas, dan jilatan api. Luka ini secara khas berwarna merah cerah atau kuning keputihan, permukaannya sedikit basah, dan menunjukkan berkurangnya sensasi tusukan jarum. Jika penyembuhan optimal tidak tercapai dengan penatalaksanaan luka konvensional, maka hasil yang lebih baik dapat dicapai dengan cangkok kulit ketebalan parsial. Sukar untuk melakukan penilaian luka bakar yang dalam, pada saat pertama datang ke rumah sakit, apakah luka tersebut dapat sembuh spontan, ataukah memerlukan cangkok kulit. Luka yang tak dapat ditentukan ini kemudian diamati selama 2 minggu oleh seorang ahli bedah luka bakar yang berpengalaman yang dapat meramal secara akurat apakah hasil eksisi dan cangkok kulit akan lebih baik daripada proses penyembuhan alamiah.

Luka bakar ketebalan penuh, atau luka bakar derajat tiga biasanya dapat dengan mudah dikenali. Luka bakar ini disebabkan oleh paparan terhadap zat kimia yang pekat, arus listrik tegangan tinggi, dan kontak yang lama dengan benda yang panas atau jilatan api. Dapat terlihat berwarna putih seperti mutiara, atau seperti kertas perkamen, dan melalui jaringan yang mati dapat terlihat vena yang mengalami trombosis, dan dikenal sebagai skar. Luka ini tanda khasnya kering dan mati rasa. Luka bakar derajat tiga bersifat kaku, dan luka bakar yang melingkar pada dada atau ekstremitas mungkin memerlukan nekrotomi.

Evaluasi luka bakar pada anak-anak (di bawah usia 4 tahun) jelas berbeda de¬ngan anak yang lebih besar dan orang dewasa. Kepala menempati porsi yang lebih besar daripada luas permukaan tubuh total. Luka yang tampaknya superfisial pada orang dewasa dapat lebih dalam pada anak-anak kecil. Pada saat datang ke rumah sakit, luka bakar derajat tiga pada anak-anak ini secara khas berwarna merah pekat, dan sangat jarang berwarna putih atau seperti perkamen. Karena warnanya inilah, maka pada awalnya luka ini sering kali digolongkan sebagai luka bakar derajat dua. Baru setelah 4 atau 5 hari luka-luka ini akan tampak jelas, berupa luka bakar kete¬balan penuh yang lebih klasik.

Pemeriksaan Laboratorium
Hitung darah lengkap, elektrolit dan profil biokimia standar perlu diperoleh segera setelah pasien tiba di fasilitas perawatan. Konsentrasi gas darah dan karboksi hemoglobin perlu segera diukur oleh karena pemberian oksigen dapat menutupi keparahan keracunan karbon monoksida yang dialami penderita. Pemeriksaan penyaring terhadap obat-obatan, antara lain etanol, memungkinkan penilaian status mental pasien dan antisipasi terjadinya gejala-gejala putus obat. Semua pasien sebaiknya dilakukan rontgen dada: tekanan yang terlalu kuat pada dada, usaha kanulasi pada vena sentralis, serta fraktur iga dapat menimbulkan pneumotoraks ntau hemotoraks. Pasien yang juga mengalami trauma tumpul yang menyertai luka bakar harus menjalani pemeriksaan radiografi dari seluruh vertebra, tulang panjang, dan pelvis.



RESUSITASI CAIRAN

Cedera termal pada kulit bermanifestasi sebagai nekrosis koagulasi dengan trom-bosis mikrovaskular pada daerah-daerah yang kerusakannya paling dalam. Jaringan di sekitarnya biasanya mengalami luka bakar yang tidak terlalu parah, dengan stasis dan hiperemia yang batas-batasnya tidak jelas. Daerah yang berpotensi dapat diselamatkan ini, mendapat perfusi dari mikrosirkulasi yang mengalami kerusakan. Jika pasien dengan luka bakar yang luas tidak segera mendapat resusitasi cairan yang tepat, maka dapat terjadi syok akibat luka bakar dan bagian dari luka bakar yang cedera namun masih hidup, dan akan berlanjut menjadi nekrosis. Kinin, prostanoid, histamin, dan radikal oksigen tampaknya berperan penting dalam menentukan keparahan dari cedera jaringan. Ibuprofen dapat menyelamatkan pembuluh darah kulit dan mengurangi edema yang timbul dini setelah luka bakar.
Resusitasi cairan sangat memperkuat terbentuknya edema pada jaringan, baik yang mengalami luka bakar ataupun tidak. Edema ini tidaklah akan selalu berakibat buruk; jika pulih tidak akan meninggalkan kerusakan permanen. Cairan yang keluar dari ruangan intravaskular sangat menyerupai plasma, baik dalam hal kandungan proteinnya maupun elektrolit. Baxter dan Shires telah menunjukkan bahwa kehilangan natrium adalah sekitar 0,5-0,6 meq/kg berat badan/% permukaan tubuh yang terbakar. Hemolisis akut ditimbulkan oleh kerusakan langsung pada sel darah merah akibat panas. Aktivasi komplemen akibat luka bakar dan selanjutnya produksi radikal oksigen oleh neutrofil meningkatkan fragilitas osmotik dari sel darah merah, dan menyebabkan hemolisis berlangsung selama beberapa hari setelah cedera termal. Dalam 24 jam pertama setelah cedera, nilai hematokrit setinggi 70% relatif sering ditemukan pada orang muda yang sebelumnya sehat.
Peningkatan dalam permeabilitas kapiler menyebabkan penurunan volume intravaskular dan curah jantung. Kendatipun tekanan arterial sistemik pada awalnya sering kali dapat dipertahankan mendekati nilai normal, namun penciutan terus menerus dari volume intravaskular akan mengarah pada hipotensi, penurunan perfusi perifer, dan asidosis jaringan. Kehilangan cairan intravaskular pada luka bakar yang luasnya melampaui 20% - 25% dari permukaan tubuh terlalu cepat untuk dapat diatasi oleh koreksi parsial dari defisit cairan melalui perpindahan cairan intraselular. Mula-mula, peningkatan permeabilitas kapiler akan berakibat kehilangan volume plasma netto obligat. Dalam 24 jam kedua setelah luka bakar, permeabilitas kapiler kembali normal, dengan suatu peningkatan kecil netto dari volume plasma intravaskular.
Penggantian cairan yang terlepas dari jaringan yang terbakar adalah landasan dalam pengobatan dan pecegahan syok akibat luka bakar. Dengan resusitasi cairan kristaloid yang tepat selama 12 hingga 24 jam, curah jantung akan meningkat hing¬ga tingkat di atas normal, mencerminkan awal gejala dari suatu hipermetabolisme pasca luka bakar. Data seperti ini menekankan pentingnya pengukuran curah jantung di atas penentuan volume darah sebagai suatu petunjuk terhadap keberhasilan resusitasi. Meskipun pada mulanya pasien mungkin hipotensi dan mengalami hipovolemia, namun tekanan darah sering kali akan tetap di antara rendah hingga rendah normal dengan perfusi sistemik yang memadai setelah resusitasi dimulai. Penelitian eksperimental telah memperlihatkan bahwa ginjal merupakan organ dengan perfusi yang paling buruk setelah suatu luka bakar. Dengan resusitasi, maka aliran darah ginjal akan kembali normal hanya setelah perfusi pada organ-organ viseral lainnya kembali pulih. Dengan demikian, suatu perfusi ginjal yang adekuat dapat diartikan sebagai aliran darah yang memadai pula untuk organ-organ lain. Urin yang keluar merupakan merupakan petunjuk yang paling tepat dan mudah untuk memantau resusitasi.
 Rumus EVANS
Dalam 24 jam I, berikan:
NaCl 0,9% : 1 x BB x % luka bakar.
Koloid : 1 x BB x % luka bakar.
Dekstrosa 5% : 2000ml (untuk penggantian Insensible water loss)
Dalam 8 jam pertama, jumlah cairan yang diberikan sebesar setengah dari kebutuhan total. Dalam 16 jam kedua, diberikan sisa kebutuhan total.



Dalam 24 jam II, berikan:
NaCl 0,9% : x BB x % luka bakar.
Koloid : x BB x % luka bakar.
Dekstrosa 5% : 2000ml (untuk penggantian Insensible water loss)

Cairan diberikan dalam tetes merata. Cara menghitung tetes, dipakai rumus:
g = P/ (Qx3)
g = jumlah tetes per menit
P = jumlah cairan dalam cc
Q= jam yang diperkirakan

Insensible water loss adalah kehilangan air setiap hari yang tidak kita sadari. Rata-rata IWL pada orang dewasa 2000 cc/hari.
Pada pemberian cairan yang tepat, akan dicapai produksi urin 50 cc/jam. Pada anak-anak, pemberian dekstrosa 5% sebagai pengganti IWL berdasarkan berat badannya. Untuk berat badan <10 kg penggantian IWL sebesar 100 ml/kgBB, BB 10-20 kg; 50 ml/kgBB, dan BB >20 kg: 200ml/kgBB.

 Rumus BROOKE
Dalam 24 jam I, berikan:
Koloid : 0,5 x BB x % luka bakar.
Ringer laktat : 1,5 x BB x % luka bakar.
Dekstrosa 5% : 2000 ml

Dalam 24 jam II, berikan:
Koloid : 0,25 x BB x % luka bakar.
Ringer laktat : 0,75 x BB x % luka bakar.
Dekstrosa : 2000 ml.
Cara pemberian sama seperti cara Evans.

 Rumus Baxter
Paling banyak dipakai saat ini, praktis dan mudah. Pada cara ini hanya diberikan cairan ringer laktat.

24 jam I, berikan :
Ringer laktat : 4 x BB x % luka bakar.
Setengah dari jumlah kebutuhan cairan total diberikan dalam 8 jam pertama, sisanya diberikan dalam 16 jam berikutnya.

24 jam II, berikan:
Ringer laktat : 4 x BB x % luka bakar.
Kebutuhan total cairan pada hari kedua sama dengan hari pertama, hanya cara pemberiannya berbeda. Pada hari kedua cairan diberikan sedemikian rupa, sehingga produksi urin sekitar 50-100 ml/jam.


Pemantauan Resusitasi
Keluaran urin merupakan pemantau keadekuatan resusitasi yang paling mudah dan efektif. Pulihnya perfusi ginjal hanya akan terjadi bila aliran darah ke organ-organ lain telah pulih, dan suatu keluaran urin yang adekuat, menunjukkan telah tercapainya stabilitas hemodinamik. Volume urin yang diharapkan adalah antara 40-60 mL/jam pada orang dewasa dan 1 mL/kg berat badan/jam pada anak dengan berat badan kurang dari 30 kg.
Petunjuk ini berlaku kecuali pada pasien dengan cedera akibat sengatan listrik langsung, dan mioglobinuria. Mioglobin bebas bersifat toksik terhadap tubulus gin¬jal dan dapat menyebabkan nekrosis tubulus dan anuria. Jika urin pada pasien yang mengalami sengatan listrik berwarna merah muda, merah, atau coklat, maka kecepatan infus intravena perlu ditingkatkan guna meningkatkan keluaran urin hingga 100 sampai 150 mL/jam. Jika urin berwarna gelap, natrium bikarbonat harus diberi¬kan agar urin menjadi basa dan mencapai pH di atas 5,6 serta meningkatkan kelarutan mioglobin. Di samping itu, berikan pula manitol untuk merangsang diuresis.
Denyut jantung, pH darah, dan tekanan darah sistemik merupakan indikatof non spesifik yang berhubungan dengan keadaan perfusi, sehingga ketepatannya dalam mencerminkan keberhasilan usaha resusitasi sangat bervariasi. Mungkin saja suatu tekanan arterial yang mengatur autoregulasi pada malfungsi organ tertentu (misalnya, ginjal, otak) mengalami kegagalan; oleh sebab itu, pada sebagian besar kasus, tekanan arterial sistolik di bawah 80-85 mmHg harus diatasi. Pada kasus luka bakar atau edema pada ekstremitas, tekanan darah sulit diukur, sehingga perlu dipandu oleh pemantau yang invasif.
Suatu indikasi untuk menjalankan pemantauan invasif adalah kebutuhan cairan yang melampaui 150% hingga 200% dari rumus perhitungan luka bakar. Tekanan perifer kapiler paru merupakan acuan yang paling bermanfaat untuk mengukof kapasitas volume intravaskular dan kemampuan untuk menerima cairan tambahan-Curah jantung merupakan acuan yang besar manfaatnya dalam menentukan intervensi farmakologik.

Sebab-Sebab Kegagalan Resusitasi
Resusitasi yang terlambat, memperlama iskemia jaringan, mempermudah terjadinya asidosis jaringan, dan menimbulkan produk-produk toksik yang merusak integritas membran kapiler; kondisi demikian akan mengarah pada nekrosis total dari jaringan-jaringan yang berpotensi untuk diselamatkan dan meningkatkan probabilitas mortalitas. Kebanyakan kasus resusitasi yang tidak adekuat terjadi akibat salah memperkirakan keparahan cedera atau kelengahan untuk segera membawa pasien ke fasilitas perawatan, atau tindakan resusitasi terlambat dijalankan.
Cedera sengatan listrik memerlukan jumlah cairan yang lebih banyak dibandingkan hasil perkiraan kebutuhan cairan dari luas luka bakar yang dialami penderita. Luasnya jaringan yang mengalami cedera dan tersembunyi di bawah kulit yang lolos dari pengamatan pada perhitungan kebutuhan cairan, di samping itu. cairan tambahan diperlukan pula untuk memulai diuresis agar dapat mengekskresi hemokromogen yang terlepas dari otot yang rusak.
Cedera inhalasi merupakan cedera utama yang paling sering menyertai penderita luka bakar. Penyebab utama dari kebutuhan cairan ekstra pada kasus cedera inhalasi adalah derajat cedera jaringan yang tak dapat diramalkan di paru-paru. Adanya cedera inhalasi yang menyertai luka bakar meningkatkan kebutuhan cairan sebesar 40% hingga 50%. Usaha-usaha untuk membatasi pemberian cairan dan mempertahankan hipovolemia dengan sengaja hanya akan berakibat resusitasi yang kurang.
Nekrotomi sering kali perlu dilakukan pada pasien-pasien dengan luka bakai" derajat tiga yang melingkar pada ekstremitas. Setelah nekrotomi, jaringan di bawahnya dapat meluas dan menghasilkan volume yang lebih besar, sehingga caira edema dapat berakumulasi. Setelah nekrotomi biasanya terjadi oliguria dan takikardi sehingga pemberian cairan infus harus ditingkatkan.
Keracunan karbon monoksida menyebabkan gagal jantung. Disfungsi jantung dapat terus berlanjut lama setelah kadar karboksihemoglobin turun hingga men¬capai nol. Pasien seperti ini berespons buruk terhadap pemberian cairan dan zat-zat farmakologik untuk membantu fungsi jantung. Pada pasien seperti ini, untuk mencapai perfusi yang adekuat, sering kali diperlukan pemberian volume cairan yang lebih besar.
Penyakit arteri koronaria dan usia lanjut yang berhubungan dengan disfungsi jantung, serupa dengan keracunan kabon monoksida yang dijumpai pada pasien-pasien luka bakar. Kardiomiopati alkohol dapat memperberat intoksikasi pada kasus keracunan etanol akut. Respons hemodinamiknya serupa pada semua kasus disfungsi jantung; diperlukan penambahan cairan untuk meningkatkan tekanan pengisian dalam usaha meningkatkan curah jantung.

Jalan Masuk ke dalam Pembuluh Darah
Jalan masuk ke dalam pembuluh darah yang dapat diandalkan merupakan hal yang sangat penting. Sedikitnya perlu didapatkan suatu jalan masuk melalui kanula intravena yang besar (no. 16), dan lebih baik bila dilengkapi dengan dua jalan masuk lain. Memasukkan kateter pada arteri pulmonalis merupakan hal yang ideal untuk aliran volume yang besar dan untuk mengukur tekanan pengisian jantung jika diperlukan. Vena subklavia dan jugularis interna merupakan lokasi yang paling aman untuk jalan masuk ke sentral. Vena femoralis juga dapat digunakan untuk jalan masuk ke vena yang besar. Venaseksi sebenarnya tidak diperlukan dan dapat menjadi penyebab morbiditas akibat infeksi dan bahkan mortalitas pada perjalanan klinis luka bakar selanjutnya. Pemantauan kateter arteri penting dalam penatalaksanaan pasien dengan ventilasi mekanis dan pasien luka bakar yang dalam keadaan kritis.
Hanya terdapat sedikit perbedaan apakah suatu kanula dimasukkan melalui kulit yang mengalami luka bakar atau yang tidak. Dengan selalu menerapkan jadwal penggantian kanula dengan ketat setiap 72 jam, maka kemungkinan komplikasi infeksi dapat diperkecil. Pada pasien pediatrik digunakan kateter yang lebih kecil dengan proporsi yang sesuai.

TINDAKAN PENUNJANG LAINNYA
Kontrol Nyeri
Pasien luka bakar biasanya sangat sensitif terhadap analgesik pada fase resusitasi. Pemberian dalam dosis yang kecil namun sering lebih aman daripada suatu dosis tunggal yang besar. Morfin sulfat merupakan obat yang efektif dan pantas diberikan. Segera setelah terjadi cedera, potensi analgesik opioid akan meningkat. Orang dewasa perlu mendapat 2-5 mg morfin dalam dosis yang dititrasi setiap jamnya; anak-anak membutuhkan hingga 0,1 mg/kg tiap jamnya. Selama fase resusitasi, semua obat harus diberikan secara intravena
Kemudian dalam perjalanan klinis selanjutnya, dibutuhkan dosis yang lebih besar untuk mengatasi nyeri pada luka bakar yang sedang, dan yang khususnya efektif adalah infus morfin secara kontinu. Dosis suplemen biasanya diperlukan pada saat melakukan debridemen. Eliminasi nyeri secara total pada pasien luka bakar bukannya tidak mungkin pula dengan anestesia umum singkat. Semua obat-obatan ini mengganggu fungsi respirasi dan sebaiknya hanya diberikan dibawah pengawasan langsung oleh petugas yang terlatih dengan kontrol jalan napas dan bantuan pernapasan. Pemakaian benzodiazepin, hipnosis, dan bantuan psikologis lainnya secara bersamaan membantu toleransi nyeri pada pasien luka bakar, dan dapat mengurangi kebutuhan narkotik. Pada masa konvalesens, pemberian suatu analgesik secara teratur, misalnya metadon, akan memberikan kontrol nyeri yang lebih efektif dibandingkan pemberian dosis "prn" (bilamana perlu).

Antibiotik dan Profilcksis Tetanus
Antibiotik profilaktik tidak berguna pada pasien luka bakar yang dirawat di rumah sakit. Tindakan demikian dapat diikuti oleh timbulnya resistensi organisme ter¬hadap berbagai antibiotik. Sekitar 1 minggu setelah terjadinya cedera panas, suatu batas eritematosa sebesar 1-2 cm sering kali mengeliling pinggir luka bakar; pinggiran ini sering kali timbul akibat reaksi jaringan terhadap produk-produk katabolisme luka, dan bukan karena infeksi bakteria. Sebelum melakukan eksisi luka, pada saat akan masuk ruang operasi dapat diberikan antibiotik yang merusak populasi bakteria residen pada keropeng tersebut.
Pemberian profilaksis tetanus didasarkan pada status imunisasi pasien sebelumnya, dan harus diteruskan sesuai dengan panduan yang ditetapkan oleh American College of Surgeons.

CEDERA INHALASI
Patofisiologi
Luka bakar pada kulit menyebabkan perubahan-perubahan pada fisiologi paru, meskipun tanpa adanya cedera inhalasi sekalipun. Volume cairan resusitasi yang besar, tidak diragukan lagi, menimbulkan peningkatan sedang dari cairan Interstisial paru, Tanpa cedera inhalasi, kelainan fungsi paru dan pertukaran gas ukan sulit dideteksi dan barangkali hanya sedikit menimbulkan dampak klinis. Pada model percobaan, luka bakar pada kulit akan mengaktivasi sistem komplemen, menyebabkan peningkatan permeabilitas pembuluh darah paru-paru, menyebabkan kerusakan endotel dan edema jaringan serta perdarahan.
Terjadinya cedera inhalasi menimbulkan efek fisiologis dan patologis yang dramatis pada paru. Paparan terhadap karbon monoksida dalam waktu yang singkat tidak menimbulkan perubahan histologi. Asam organik dan anorganik, seringkali merupakan produk sampingan dari pembakaran alat-alat rumah tangga (yang biasanya mudah menyebabkan kombusio), mengakibatkan cedera jalan napas dan parenkim. Partikel-partikel kecil dengan diameter kurang dari 0,05 μm akan dideposit dalam bronkiolus terminalis dn parenkim paru dan menyebabkan kerusakan yang luas.

Manifestasi Klinis
Cedera jalan napas yang ditimbulkan oleh inhalasi asap atau gas beracun masih merupakan tantangan yang harus diatasi oleh pusat-pusat perawatan luka bakar. Cedera inhalasi tanpa adanya luka bakar pada kulit dapat mengancam nyawa dan memerlukan perawatan jangka panjang di unit perawatan kritis. Cedera inhalasi pada pasien luka bakar biasanya akan memperpanjang masa rawat inap hingga tiga atau empat kali lebih lama, sesuai dengan meningkatnya insidens pneumonia dan mortalitas yang menyertainya. Di samping usia dan ukuran luka bakar, ada atau tidaknya cedera inhalasi merupakan faktor terkuat yang dapat meramalkan prognosis penderita.
Cedera inhalasi paling sering terjadi pada pasien-pasien yang mengalami luka bakar dalam ruangan tertutup. Pasien-pasien dengan kesadaran menurun atau mengalami koma pada tempat kejadian akan terpapar oleh asap lebih lama, dan menderita cedera inhalasi yang berat. Cedera inhalasi dapat terjadi dalam tiga bentuk, tunggal atau disertai: keracunan karbon monoksida, cedera jalan napas atas, dan cedera jalan napas bawah.

Keracunan Karbon Monoksida
Karbon monoksida merupakan penyebab utama hipoksia pada kasus-kasus kematian akibat kebakaran dalam lingkungan perkotaan. Sebagai suatu gas yang tak berwarna, tak berbau dan tak berasa, karbon monoksida bertanggung jawab atas 80% kematian akibat inhalasi asap. Afinitas hemoglobin terhadap karbon monoksida lebih dari 200 kali lipat dibandingkan afinitasnya terhadap oksigen. Gas ini mengurangi penghantaran oksigen dan menyebabkan pergeseran kurva disosiasi oksi hemoglobin ke kiri.
Warna kulit merah terang yang dikatakan bersifat khas untuk keracunan karbon monoksida, hampir tidak pernah dijumpai pada pasien luka bakar. Tekanan oksigen arteri (PCh) yang normal juga tidak menolong, karena tekanan oksigen arteri dapat menjadi cukup tinggi dengan terdapatnya kandungan oksigen yang kadarnya berbahaya rendahnya dalam hemoglobin jenuh karbon monoksida. Pengobatan optimal pada keracunan karbon monoksida berupa pemberian oksigen 100% baik melalui masker yang pas atau melalui intubasi endotrakeal dan ventilasi mekanis. Peranan oksigen hiperbarik dalam penatalaksanaan keracunan karbon monoksida masih belumjelas.

Luka Bakar Jalan Napas Atas
Luka bakar pada jalan napas atas termasuk di antaranya luka bakar yang melibatkan rongga hidung, faring, laring, glotis, trakea, dan bronkus besar. Cedera jalan napas ini jarang timbul sebagai akibat langsung dari panas, karena kapasitas peng-angkutan panas dari udara kering terbatas. Akan tetapi, kapasitas pengangkutan panas, uap air dapat 4.000 kali lebih besar daripada udara kering, dan inhalasi uap dapat menimbulkan cedera panas yang langsung hingga ke tingkat alveoli. Inhalasi uap biasanya dengan cepat menjadi fatal, dengan terjadinya kematian dalam waktu 24 jam.
Kasus cedera inhalasi mayoritas merupakan akibat cedera kimiawi yang ditimbulkan oleh inhalasi gas. Produk-produk sisa pembakaran yang tak lengkap antara lain sianida, akrolein, aldehida, dan hidrokarbon. Adanya luka bakar pada wajah merupakan peringatan bagi ahli bedah akan kemungkinan cedera inhalasi. Tanda dan gejala lain termasuk suara serak, stridor, bronkore, mengi, sputum kehi-Imnan, rambut hidung dan alis mata terbakar. Bronkoskopi serat optik merupakan modalitas yang paling dapat diandalkan dalam mendiagnosis dan merawat cedera inhalasi. Bronkoskopi harus dilakukan setelah resusitasi cairan dimulai dan hipovolemia dikoreksi.
Hasil pemeriksaan cedera yang positif dapat dibagi atas lesi mukosa dan ekstramukosa. Kelainan pada mukosa termasuk edema, eritema, bleb, dan terkelupasnya mukosa. Debris karbon dan bronkore merupakan kelainan ekstramukosa. Pemeriksaan serial mungkin diperlukan, dan sebaiknya dilakukan oleh pemeriksa yang sama. Edema maksimal akan mencapai puncaknya dalam 24 hingga 48 jam setelah gangguan awal, dan selang endotrakea tidak boleh dilepas hingga setelah hari ketiga pasca luka bakar, dan resolusi edema.

Cedera Jalan Napas Bawah
Sekitar 85% pasien dengan cedera jalan napas besar akan mengalami cedera paren-kim paru yang memiliki dampak klinis. Cedera jalan napas bawah terutama melibatkan bronkiolus terminalis dan alveoli. Sel-sel basal struktural mengalami keru-nakan dan biasanya terkelupas, menimbulkan obstruksi jalan napas kecil. Dalam tilveoli, sel-sel endotel vaskular di dekatnya dapat mengalami cedera dan dapat mengakibatkan keluarnya cairan intravaskular. Bila tidak ada komplikasi, maka cedera parenkim paru akan menyembuh dalam 7-10 hari. Komplikasi yang mung¬kin terjadi antara lain, pneumonia, atelektasis, edema paru, dan sindrom distres pernapasan pada dewasa.
Rontgen dada dan PO2 arteri, biasanya normal pada saat pasien datang ke rumah sakit. Pasien-pasien dengan cedera inhalasi pada parenkim baru akan memperlihatkan kelainan rontgen dada, sekitar 4 hari setelah terjadinya luka bakar. Suatu PO2 yang kurang dari 60 mmHg dalam udara ruangan, atau kurang dari 300 mmHg pada suatu fraksi oksigen inspirasi (Fio2) 100%, merupakan suatu petunjuk cedera inhalasi yang dapat diandalkan.
Penatalaksanaan pasien dengan cedera inhalasi pada parenkim terutama bersifat simtomatik, antara lain tindakan mengisap, spirometri insentif, dan pemberian udara kaya oksigen yang dilembabkan. Antibiotik profilaksis, baik dalam bentuk aerosol atau pemberian sistemik, tidak ada gunanya. Demikian pula pemberian steroid profilaktik tidak memiliki efek dalam perjalanan cedera inhalasi, bahkan meningkatkan risiko komplikasi infeksi. Pemberian antibiotik didasarkan pada hasil pemeriksaan infeksi melalui sputum, dan isolasi organisme penyebab. Kegagalan pernapasan akut sering terjadi pada pasien cedera inhalasi, terutama bila pasien menjadi pneumonia.


PERAWATAN LUKA
Debridemen awal
Setelah stabilitas jalan napas dicapai dan resusitasi cairan dimulai, maka perawatan luka bakar itu sendiri dapat dimulai. Kecuali pada luka bakar kimiawi yang harus segera dilakukan irigasi, maka luka bakar pada pasien yang bam saja datang ke rumah sakit tidak mengharuskan prioritas utama untuk perawatannya. Debridemen inisial sebaiknya dilakukan pada fasilitas perawatan luka yang dirancang khusus, sehingga mampu memelihara suatu lingkungan yang hangat dan menyediakan pemantauan elektronik. Merendam pasien dalam bak yang besar sekarang jarang dilakukan oleh karena sering terjadi perpindahan cairan dalam jumlah besar, dan gangguan komposisi elektrolit yang timbulnya tnendadak, serta dekompensasi hemodinamik pada tindakan tersebut.
Bula dapat dibiarkan utuh pada pasien luka bakar ringan yang dirawat jalan, tetapi pada pasien rawat inap, semua bula harus didebridemen. Jaringan yang melekat dieksisi secara tajam. Debridemen total terhadap semua jaringan nekrotik daat dilakukan dalam beberapa hari. Diagram luka bakar harus dibuat, karena luas dan dalamnya jaringan yang cedera paling baik dievaluasi pada saat ini. Luka bakar harus dicuci dengan suatu deterjen antibakteri: klorheksidin merupakan obat yang paling efektif untuk membersihkan dan dekontaminasi. Suatu krim antimikroba topikal dioleskan pada luka dengan mengenakan sarung tangan steril.

Hal-hal yang harus dipantau pada penderita luka bakar:
• Pengukuran tensi, nadi, dan frekuansi nafas.
• Pemasangan kateter buli-buli untuk mengukur produksi urin/jam
• Pemasangan kateter pengukuran tekanan vena.
• Pemeriksaan hemoglobin dan hematokrit
• Analisis gas darah



Hal-hal yang harus diberikan pada penderita luka bakar.
• Antibiotik sistemik spektrum luas untuk mencegah infeksi. ( diberikan berdasarkan kultur dan uji kepekaan kuman)
• Obat suportif diberikan secara rutin:
o Vitamin A,B,dan D
o VitaminC 500mg
o FE sulfat 500mg
• Antasid diberikan untuk pencegahan tukak stres.
• Antipiretik diberikan jika suhu tinggi.
• Nutrisi harus diberikan cukup untuk menutup kebutuhan kalori dan keseimbangan nitrogen yang negatif pada fase katabolismeyaitu sebanyak 2500-3000 kalori/hari dengan kadar protein yang tinggi. Dapat diberikan melalui NGT atau nutrisi parenteral.
• Jika penderita sudah stabil keadaannya maka dapat mulai dilakukan fisioterapi untuk memperlancar peredaran darah dan mencegah kekakuan sendi. Jika perlu diistirahatkan dalam posisi fungsional dengan bidai


Sikap perwatan untuk mencegah kontraktur
• Ekstensi leher dengan bantal atau gulungan
• Ekstensi pergelangan tangan
• Abduksi ketiak 90o
• Ekstensi siki 180 0
• Bidai ekstensi pergelangan tangan.
• Abduksi paha 15-20 0
• Ekstensi sendi paha dan lutut
• Pergelangan kaki 90 0
Perkembangan kontraktur pada luka bakar harus dicegah pada tahap dini.



Pengobatan lokal dan perawatan luka bakar
Pada luka bakar derajat I dan II yang menyisakan elemen epitel berupa kelenjar sebacea, kelenjar keringat, atau pangkal rambut, dapat diharapkan sembuh sendiri, tetapi dengan syarat dijaganya elemen epitel tersebut agar tidak hancur atau rusak karena infeksi.
Pada luka yang lebih dalam perlu diusahakan secepat mungkin membuang jaringan kulit yang mati. Dan memberi obat topikal yang daya tembusnya tinggi sampai mencapai dasar jaringan mati. Perawatan setempat dapat dilakukan terbuka atau tertutup.
Keuntungan perawatan terbuka:
• Mudah dan murah.
• Luka tetap dingin dan kering  kuman sulit berkembang.
• Inspeksi dan pemeriksaaan selalu dapat dilakukan.
• Sesuai dengan bagian tubuh yang sukar dibalut. (wajah,perineum,bokong)
Kerugian perwatan terbuka:
• Bila digunakan obat tertentu misalnya nitras argenti  alas tidur menjadi kotor.
• Tidak enak untuk dipandang, karena luka tampak kotor.
Perawatan tertutup: dilakukan dengan memberikan balutan yang dimaksudkan agar luka tidak terkontaminasi, tetapi ditutup dengan cukup longgar sehingga masih bisa berlangsung penguapan.
Keuntungan perawatan tertutup:
• Luka tampak rapi
• Terlindung
Kerugian perawatan tertutup:
• Mahal
• Suasana lembab dan hangat memungkinkan kuman berkembang biak

Obat topikal yang dipakai dapat berbentuk larutan, salep atau krim.
• Antibiotik dapat diberikan dalam sediaan kasa.
• Antiseptik
o Betadine atau nitras argenti 0,5%
o Zilversulfadiazin dalam bentik krim 1%
 Bakteriostatik
 Daya tembus cukup
 Efektif untuk semua kuman
 Tidak menimbulkan resistensi.
 Aman

Pada luka bakar derajat II sebaiknya keropeng dibiarkan kering. Keropeng akan terlepas sendiri seperti kulit ular setelah 7-12 hari.

Pada luka derajat III keropeng dibiarkan selama 10-18 hari. Kemudian keropeng dapat dilepaskan dan dapat dilakukan cangkok kulit.

PENUTUPAN LUKA
Eksisi Bedah
Pada luka bakar eksisi merupakan pada luka tipe ketebalan penuh dan luka dalam tipe ketebalan parsial, khususnya pada lokasi-lokasi fungsional yang penting. Penutupan secara tepat akan mengurangi risiko infeksi, mengurangi nyeri, dan memungkinkan terapi fisik yang agresif dan efektif. Eksisi dapat segera dimulai setelah pasien dalam keadaan stabil, resusitasi lengkap, dan mobilisasi cairan dalam perkembangan. Eksisi total dari suatu luka bakar luas yang dilakukan sekaligus sering kali disertai kehilangan darah yang banyak, dan tidak ada keuntungannya.
Dua teknik nekrotomi dini yang paling sering dilakukan adalah eksisi tangen-sial dan eksisi fasia. Eksisi tangensial meliputi eksisi keropeng secara berurutan ke arah bawah hingga mencapai jaringan hidup yang berdarah dengan suatu dermatom penjaga. Eksisi diakhiri jika telah dijumpai dermis yang hidup atau jaringan subkutan yang sehat. Perdarahan intraoperatif dapat hebat pada teknik ini, namun kehilangan darah dapat dikurangi dengan pemakaian torniket pada luka baker ekstremitas. Suatu dasar luka yang sehat ditunjukkan oleh adanya dermis yang basah, berwarna putih atau jaringan lemak kuning terang pada jaringan subkutis. Eksisi fasia dilakukan dengan menggunakan kauter listrik dan torniket guna membatasi kehilangan darah. Hilangnya kontur tubuh tidak dapat dielakkan pada eksisi fasia. Setelah eksisi dan hemostasis, maka cangkok kulit ketebalan parsial dapat diambil dengan menggunakan berbagai dermatom. Tebal kulit donor berkisar antara 0,010 sampai 0,012 inci. Cangkokan ini dapat diperluas dengan mengguna¬kan alat berlubang bila daerah permukaan yang perlu ditutup cukup luas, atau bila diharapkan drainase luka yang cukup besar. Jika autograf terbatas, maka cangkokan dapat dibuat berlubang-lubang 1 /2-1, 2-1, 3-1, atau 6-1, bergantung pada kebutuhan pasien. Lembar cangkokan dapat digunakan untuk mendapatkan penampilan yang lebih baik pada daerah-daerah yang penting secara kosmetis. Cangkokan dilekatkan pada posisinya menggunakan penjepit pada ujungnya. Jika semua kulit yang ada telah digunakan, maka suatu homograf dapat ditempelkan pada daerah yang telah dieksisi sampai lokasi kulit donor semula dapat dipanen kembali, biasanya dalam waktu 2-3 minggu.

PEMBERIAN NUTRISI
Karena efek nutrisional dari respons hipermetabolik berwujud sebagai pengeluaran energi yang berlebihan dan kehilangan nitrogen dalam jumlah besar, maka pertolongan gizi harus dapat memberikan kalori untuk mengimbangi pengeluaran energi dan nitrogen guna menggantikan cadangan protein tubuh.
Karbohidrat dalam bentuk glukosa merupakan sumber kalori nonprotein yang terbaik pada pasien-pasien luka bakar. Jaringan-jaringan tertentu, termasuk jaringan yang mengalami luka bakar, jaringan saraf, dan elemen-elemen darah menggunaan hanya glukosa saja. Dengan demikian, jika nutrisi yang adekuat tidak tersedia, maka suplai glukosa untuk Jaringan-jaringan ini akan diambil dari massa tubuh sendiri.
Tujuan pemberian nutrisi pada pasien dengan luka bakar yang berat adalah untuk keseimbangan energi dan nitrogen. Pemberian kalori supranormal sering kali berhasil dilakukan pada pasien luka bakar, namun sediaan seperti ini tidak dapat memperbaiki keseimbangan nitrogen.
Bila memungkinkan, maka zat gizi harus diberikan melalui saluran cerna; nutrisi parenteral sebaiknya hanya dicadangkan untuk pasien-pasien yang ususnya sedang dioperasi. Pada pasien dengan luka bakar ringan, maka fungsi saluran cerna sudah akan kembali pulih dalam waktu 24 hingga 72 jam. Jika sudah terdapat bukti-bukti kembalinya fungsi usus, maka pemberian makanan dapat dimulai dan dengan cepat, untuk mengejar kebutuhan lengkap. Beberapa pasien luka bakar yang kecil, khususnya kasus-kasus dengan luka bakar yang berat, pasien lanjut usia, dan kasus-kasus yang dengan cedera inhalasi, akan mengalami ileus paralitik yang berlangsung lebih lama. Jika fungsi saluran cerna belum kembali, maka nutrisi parenteral dapat dimulai pada hari ketiga atau kelima pasca luka bakar. Nutrisi enteral memiliki kelebihan-kelebihan dibandingkan dengn nutrisi paren¬teral. Nutrisi enteral tampaknya dapat memelihara keutuhan dari saluran cerna dan mengurangi insidens translokasi bakteri dari usus. Selain itu, massa mukosa usus dapat dipertahankan dan dipelihara, serta lebih banyak insulin yang dilepaskan, sehingga dapat memacu anabolisme.
Nutrisi parenteral total harus dilakukan jika saluran cerna terbukti tidak lagi mampu menyediakan kalori yang memadai. Ileus yang lama, pemakaian narkotik secara berlebihan, dan konstipasi merupakan penyebab kegagalan nutrisi parenteral yang sering dijumpai. Sepsis sering disertai ileus dan intoleransi glukosa yang berat. Nutrisi yang dapat ditoleransi sebelumnya, perlu dihentikan sementara hiperglikemia dikendalikan. Komplikasi lanjut yang melibatkan saluran cerna dapat menyebabkan hilangnya fungsi usus dan memerlukan nutrisi parenteral.

KOMPLIKASI

Komplikasi Saluran Cerna
Komplikasi pada saluran cerna yang menyertai luka bakar yang luas, antara lain nlscrasi lambung dan duodenum akibat stres (tukak Curling), kolesistitis akalkulus, punkreatitis akut, sindrom arteri mesenterika superior, enterokolitis iskemik nonoklusif, dan disfungsi hati.

Tukak Curling
Ulserasi akibat stres pada lambung dan duodenum dapat berupa suatu spektrum lesi mulai dari erosi superfisial, hingga tukak menggaung dan perforasi. Diperlukan asam lambung, untuk perkembangan erosi dini menjadi tukak yang lebih luas, na¬mun konsentrasi asam lambung dan gastrin sering kali masih dalam batas normal.
Penelitian acak terkontrol dari antasid dan plasebo telah membuktikan efektivitas antasid dalam pencegahan terjadinya ulkus. Antagonis histamin H2 merupa¬kan zat profilaktik alternatif. Penelitian klinis akhir-akhir ini menunjukkan bahwa pemberian nutrisi enteral dini sama efektifnya dengan antasid atau antagonis histamin H2. Pembedahan perlu dilakukan pada kasus perdarahan tukak Curling yang tak dapat dikendalikan, namun harapan hidup untuk gejala pada penyakit kritis ini, biasanya buruk.

Sindrom Arteri Mesenterika Superior
Sindrom arteri mesenterika superior dapat terjadi pada pasien luka bakar yang mengalami penurunan berat badan yang bermakna. Arteri mesenterika superior menyumbat bagian melintang dari duodenum, sehingga pemberian makanan enteral tidak memungkinkan. Dekompresi lambung dan nutrisi parenteral dapat mengurangi keharusan intervensi secara bedah.

PankreatitisAkut
Pankreatitis akut terjadi pada pasien luka bakar dengan insidens sampai setinggi 35%. Nyeri abdomen sering kali tidak ada, dan pankreatitis ditandai oleh mening-katnya kebutuhan cairan. Penatalaksanaan diarahkan pada tindakan-tindakan penyokong umum dan nutrisi parenteral.

Infark Miokard
Infark miokard pada pasien luka bakar terjadinya hampir selalu pada orang tua. Infark biasanya terjadi dalam minggu pertama setelah luka bakar, pada saat respons hipermetabolik mencapai puncaknya. Tuntutan akan curah jantung yang tinggi, melampaui kemampuan jantung yang sakit untuk memenuhi kebutuhan perfusi dan metabolismenya sendiri, dan terjadilah infark. Gagal jantung diterapi dengan zat inotropik yang tepat untuk dapat mempertahankan perfusi total. Volume Intravaskular yang adekuat perlu dipertahankan agar dapat memenuhi kebutuhan perfusi pada luka dan organ-organ visera. Ketidakmampuan meningkatkan curah jantung pada fase hipermetabolisme menimbulkan sindrom curah rendah relatif dan mortalitas yang hampir bersifat universal.

LUKA SENGATAN LISTRIK
Kecelakaan ini terjadi disebabkan karena arus listrik mengaliri tubuh, adanya loncatan arus atau karena ledakan tegangan tinggi (petir)
Luka yang disebabkan Arus listrik

Patofisiologi

Arus listrik menyebabkan gangguan karena rangsangan terhadap saraf dan otot. Energi panas yang timbul akibat tahanan jaringan yang dilalui arus menyebabkan luka bakar pada jaringan tersebut.
Arus bolak-balik menimbulkan rangsangan otot yang hebat berupa kejang-kejang. Kejang tetanik yang kuat pada otot skelet dapat menimbulkan fraktur kompresi vertebra.
Bila arus tersebut melalui jantung, kekuatan sebesar 60 miliampere saja sudah dapat meyebabkan fibrilasi ventrikel.
Bila kawat berarus listrik terpengang tangan, maka pengangan akan sulit dilepaskan hal itu disebabkan karena kontraksi otot fleksor jari lebih kuat dari pada otot ekstensor dari jari, sehingga korban terus teraliri listrik karena tidak dapat melepaskannya.
Jika arus listrik mengenai otot dada keadaan ini menyebabkan gerakan nafas terhenti, sehingga penderita dapat mengalami asfiksia.
Panas yang timbul pada pembuluh darah akan merusak tunika intima singga akan t erjadi trombosis yang timbul pelan-pelan. Beberapa jam setelah kecelakaan listrik dapat terjadi sindrom kompartemen karena udem dan trombosis.

Urutan tahanan jaringan mulai dari yang paling rendah yaitu saraf, pembuluh darah, otot, kulit, tendo dan tulang. Pada jaringan yang tahanannya tinggi akan lebih banyak arus yang melewatinya, maka panas yang timbul lenih tinggi. Karena epidermisnya lebih tebal, telapak tangan dan kaki mempuyai tahanan yang lebih tinggi sehingga luka bakar yang terjadi bila daerah ini terkena arus listrik juga lebih besar.

Kelancaran arus masuk ke tubuh juga bergantung pada basah atau keringnya kulit yang kontak dengan arus. Bila kulit basah atau lembab arus akan mudah sekali masuk, berupa luka bakar dengan kulit yang lebih rendah dari sekelilingnya.

Terapi

Putuskan arus listrik
Resusitasi pernafasan dan peredaran darah.
Cairan parenteral harus diberikan karena kadang luka bakar dikulit luar tampak ringan, tetapi kerusakan jaringan lebih dalam luas dan berat. Kalau banyak kerusakan otot makan urin akan berwarna gelap (mioglobin) pada penderita ini harus diberi manitol dengan dosis awal 25 gr kmd disusul dosis rumat 12,5 gr/jam ( jika perlu manitol diberikan selama 6 kali, untuk memperbaiki filtrasi ginjal dan mencegah gagal gnjal. Bila ada udem otak diberi diuretik dan kortikosteroid.
Pada luka bakar dalam dan berat, pembersihan jaringan mati secara bertahap karena tidak semua tampak pada hari pertama.
Bila luka pada ekstremitas, mungkin perlu fasciotomi pada hari pertama mencegah sindrom kompartemen. Selanjutnya dilakukan skin graft.


Luka karena tersambar petir.
Petir terjadi di saat guntur pada waktu terdapat awan yang bermuatan listrik tengangan tinggi. Petir bervoltase 20-100 juta volt arus dapat mencapai 20.000 amper dengan suhu inti samapi 30.000 kelvin.
Patogenesis
Kecelakaan tersambar petir dapat terjadi dengan empat cara:
1. terjadi bila seseorang secara terbuka berada dilapangan luas sehingga merupakan puncak tertinggi bagi muatan listrik dari awan untuk mencapai bumi, kecelakaan ini disebut tersambar langsung.
2. terjadi bila seseorang berada di dalam daerah paling jauh 2 meter sekitar batng pohon yang tersambar petir karena terjadi loncatan arus listrik dari batang pohon, ini disebut tersambar samping atau side flash.
3. terjadi bila korban bersandar pada pohon yang tersambar petir disebut tersambar kontak.
4. terjadi saat berlangkah, berdiri atau berjongkok dekat tanah yang tersambar petir disebut tersambar langkah.

Biasanya pada kejadian tersambar samping arus listrik masuk kepala melalui lobang kepala ( telinga, mata, mulut). Pada jalan arus listrik terletak sebagian otak, pusat pernafasn dan jantung sehingga terjadi pingsan, henti nafas maupun henti jantung. Pada kejadian ketiga aliran listrik masuk tubuh pada tempat kontak, tempat ini yang menetukan gambaran klinik. Pada kejadian terakhir yaitu tersambar langkah, arus listrik masuk melalui kaki yang paling dekat tempat petir di tanah dan keluar tubuh lagi pada kaki lain.

Terapi
Biasanya orang akan sadar kembali dalam waktu terbatas sedangkan kelumpuhan pusat pernafasan juga akan berlalu setelah lima sampai sepuluh menit. Korban akan selamat bila diberikan resusitasi berupa nafas buatan segera setelah kecelakaan, hal ini dapat menyelamatkan 70% korban. Defibrilasi jantung tidak perlu karena henti jantung pada korban ini merupakan asistole tanpa fibrilasi.
Penyulit
Penyulit dini : perforasi membran timpani, konjungtivitis.
Biasanya luka bakar meliputi 1-2% luas permukaan kulit dan dalamnya tingkat dua samapi tiga. Kadang terdapat luka bakar superfisial berupa gambar kembang atau daun (gambar Lichtenberg)
Arus listrik di ekstremitas, terutama di tungkai dapat menyebabkan vasokontriksi hebat sampai terjadi iskemi yang bertanda pucat an sianosis dan nadi hilang. Umumnya keadaan ini akan pulih sendiri dan jarang memerlukan fasiotomi.



Pencegahan

Sewaktu datang petir cari perlindungan di rumah, gedung, atau mobil. Jangan pernah cari perlindungan di bawah pohon dilapangan, tetapi hutan merupakan tempat perlindungan cukup aman. Bila saat itu sedang berada ditengah lapangan luas sebaiknya berjongkok dan kedua kaki di dekatkan sedekat mungkin.


CEDERA KIMIAWI

Luka bakar karena zat kimia disebabkan oleh panas yang terlepas saat asam atau basa kuat bereaksi dengan jaringan hidup. Proses merusak ini berlanjut selama zat kimia tersebut masih berkontak dengan jaringan. Bahan kimia toksik lain menyebabkan cedera dengan mengeringkan jaringan; absorpsi melalui luka bakar dapat menyebabkan sistem intoksikasi, Melepaskan diri terhadap kontak dengan zat kimia tersebut harus segera dilakukan untuk membatasi kerusakan dan intoksikasi lebih lanjut, dan ini merupakan respons pertama yang akan dilakukan orang, terhadap cedera kimiawi selama. proses ini. Luka bakar kimia menimbulkan perubahan warna kulit yang mengesankan suatu luka bakar superfisial, namun sering kali seluruh ketebalan kulit dan bahkan jaringan subkutan sudah tidak hidup lag). Irigasi segera dengan air atau larutan garam merupakan penatalaksanaan yang paling efektif untuk membatasi kerusakan jaringan.
Prioritas utama dalam pengobatan luka bakar kimiawi adalah penghentian segera proses terbakar. Semua pakaian perlu segera dilepaskan. Seluruh daerah tubuh yang terkena harus diirigasi dengan air atau larutan garam. Untuk asam-asam biasa, maka pencucian perlu dilakukan sedikitnya 30 hingga 60 menit; pada luka bakar karena basa, pencucian perlu dilakukan selama beberapa jam. Pencucian yang terus menerus dengan cairan dalam jumlah besar harus dapat mempertahan-kan suhu pada jaringan yang rusak di bawah suhu cedera. Pemakaian larutan penetral spesifik sama sekali tidak dibolehkan; panas dan proses netralisasi dapat menyebabkan kerusakan lebih lanjut. Debridemen harus dilakukan dengan hati-hati. Penampilan luka bakar kimiawi sering kali mengecoh karena tampak jinak dan superfisial. Tetapi setelah 7 hari barulah derajat kerusakannya menjadi nyata. Obat antimikroba topikal dioleskan pada luka bakar, dan bila luka bakar cukup luas maka, perlu dilakukan resusitasi cairan. Luka bakar dengan ketebalan penuh dieksisi dan dilakukan pencangkokan pada waktu yang tepat.

Luka Bakar Akibat Asam

Suatu asam kuat biasanya memiliki pH kurang dari 2,0 dan menyebabkan nekrosis koagulasi pada jaringan. Efek merusak dari asam ini dibatasi oleh sawar yang dibentuk oleh jaringan koagulasi. Dengan beberapa perkecualian, luka bakar akibai asam bersifat kurang destruktif dibandingkan luka bakar akibat basa. Seperti semua senyawa kimia kaustik lainnya, lamanya kontak memperberat dalamnya cedera. Jika keropeng yang terbentuk berwarna gelap, dengan tekstur seperti kulit sapi serin mengering, maka luka bakar tersebut agaknya jenis ketebalan penuh.
L uka Bakar Akibat Basa
Suatu basa kuat memiliki pH 11,5 atau lebih, dan menyebabkan nekrosis pencairan. Karena sawar koagulasi protein tidak pernah terbentuk, maka luka bakar akibat basa bersifat lebih invasif dan memerlukan irigasi dengan air yang lebih lama (hingga 12 jam). Suatu basa kuat dapat melarutkan protein dan kolagen, serta menimbulkan penyabunan lemak dan dehidrasi sel-sel jaringan. Kedalaman luka bakar pada stadium awal sering kali diperhitungkan terlalu rendah, dan luas permukaan luka bakar derajat tiga sering kali dijumpai lebih besar dari yang diperkirakan semula. Luka bakar seperti ini mudah terinfeksi dan menimbulkan sepsis.

CEDERA SUHU DINGIN
Cedera akaibat suhu dingin terutama terjadi pada bagian ujung tubuh yang terkena langsung dingin seperti jari kaki dan tangan, telinga, hidung. Faktor kelembaban udara yang rendah serta angin kencang memperberat kerusakan pada daerah yang tidak terlindungi pakaian (hidung, telinga). Baju dan pakaian yang basah ketat dan kaku, serta lembab atau basah, seperti juga kaus kaki dan sepatu bashberpengaruh buruk.

Patofisiologi
Mula-mula bagian yang terpajan dirasa dinginn, kemudian dirasa tebal lalu bagian itu kehilangan daya rasa. Kadang rasa nyeri terasa menyegat atau berdenyut. Kulit mula-mula kemerahan kemudian pucat seperli lilin.
Terapi
Semua pakaian ketat dilonggarkan. Bagian yang sakit dihangatkan kembali dengan merendamnya dalam air suam-suam kuku .
Selanjutnya diberikan perawatan seperti pada luka bakar biasa
Fisioterapi.


MASALAH REKONSTRUKSI
Parut Hipertrofik dan Pembentukan Keloid
Panit luka bakar yang hipertrofik biasanya timbul pada luka bakar ketebalan parsial dan luka bakar derajat tiga yang dapat sembuh secara primer. Hipertrofi dan daerah cangkokan luka bakar yang dieksisi, lebih jarang terjadi, dan tergantung pada bagian yang terkena, lamanya waktu dari cedera hingga eksisi dilakukan, bagian anatomi yang terlibat, serta teknik bedah yang digunakan. Pada eksisi tangensial, jaringan nekrotik dari luka bakar ketebalan parsial, dilepaskan lapis demi lapis hingga mencapai dermis yang masih dapat hidup; pada sebagian besar kasus, luka tersebut segera dilakukan pencangkokan. Eksisi tangensial yang tertunda, kemungkinan timbulnya sisa hipertrofi parut pada luka bakar yang mendapat cangkokan, lebih besar.
Karena hanya sedikit unsur epitelial, kelenjar keringat, dan folikel rambut yang tersisa pada suatu luka bakar ketebalan parsial, maka penyembuhan dari sisa-sisa ini membutuhkan waktu kira-kira 3 sampai 6 minggu. Epitel jaringan parut yang terbentuk, kualitasnya buruk dan cenderung membentuk hipertrofi parut. Suatu hipertrofi parut perlu dibedakan dari keloid, meskipun keduanya memperlihatkan suatu pertumbuhan kolagen yang berlebihan. Pada keloid, pertumbuhan dari jaringan parut melampaui batas-batas dari cedera semula. Hipertrofi parut tumbuh pada dasar jaringan yang cedera dan terbatas pada batas-batas anatomisnya semula. Dengan berjalannya waktu dan dengan pemberian tekanan, hipertrofi parut sering kali akan menipis, sementara tidak demikian dengan keloid. Bebat tekan dengan cepat dapat memperkecil massa jaringan parut yang belum matang, dan menum-buhkan kesadaran pasien akan manfaat dari kunjungan tindak lanjut setelah cedera. Teknik pendekatan yang dinilai paling berhasil pada jaringan parut luka bakar yang hipertrofik adalah terapi tekanan sejak awal, sampai jaringan parut matang, diikuti oleh eksisi dan pencangkokan kulit.
Keloid lebih sulit diatasi sebab cenderung kambuh kembali. Eksisi koloid d penutupan primer, efektif pada keloid linier dengan dasar yang sempit; namun demikian, tegangan yang berlebihan pada luka, sering kali menyebabkan kekambuhan. Keloid dengan dasar lebar dapat diangkat berikut jaringan sekitarnya, dan di atas dasar keloid ditempatkan cangkok kulit ketebalan parsial. Injeksi kortikosteroid intralesi telah diajukan sebagai suatu cara untuk mengurangi massa keloid dan jaringan hipertrofi parut. Teknik ini dapat dilakukan bersama-sama dengan tindakan eksisi dan cangkok kulit ketebalan parsial. Efek samping injeksi kortikosteroid intralesi terutama berupa hipopigmentasi dan atrofi dari kulit di sekeliling keloid.
Sekitar 20% pasien yang dirawat pada fasilitas perawatan luka bakar akan kem¬bali untuk menjalani pembedahan rekonstruksi. Daerah-daerah yang biasanya harus direkonstruksi adalah tangan dan pergelangan tangan, lengan dan lengan bawah, wajah, dan leher. Penatalaksanaan pasien luka bakar dan penanganan jaringan parut yang lebih baik di rumah sakit akan mengurangi perlunya dilakukan pembedahan rekonstruktif.

Ulkus Marjolin
Marjoiin mengamati bahwa ulserasi kronik pada jaringan parut luka bakar sering kali mengarah pada degenerasi maligna. Bentuk yang paling sering adalah karsinoma sel skuamosa, meskipun kadang-kadang dapat pula terjadi karsinoma sel basal. Tumor yang jarang antara lain histiositoma fibrosa maligna, sarkoma, dan melanoma maligna neurotropik.

Osifikasi Heterotopik
Osifikasi heterotopik terjadi pada lebih dari 13% pasien luka bakar. Peristiwa ini paling sering terjadi 1 sampai 3 bulan setelah cedera, pada pasien-pasien dengan luka bakar ketebalan penuh yang melampaui 20% permukaan tubuh total, dan berdekatan dengan sendi yang terlibat. Siku merupakan sendi yang paling sering terkena. Diagnosis biasanya dibuat oleh ahli terapi fisik atau kerja, yang menemukan nyeri yang makin hebat dan berkurangnya gerakan pada sendi yang bersangkutan.
Keterbatasan aktivitas fisik biasanya mendahului bukti-bukti kalsifikasi secara radiografi yaitu pada otot dan jaringan lunak di sekitar sendi. Imobilisasi yang lama pada suatu sendi tampaknya juga mempermudah terjadinya osifikasi hipertrofik. Sebagian ahli menyarankan tindakan pengangkatan semua jaringan lunak yang mengapur melalui pembedahan, namun ada pula yang menjalankan terapi rehabilitasi dan membiarkan reabsorpsi dari jaringan yang mengalami osifikasi.

Fraktur
Sekitar 10% dari pasien luka bakar juga menderita fraktur. Fiksasi interna telah dibuktikan tidak meningkatkan risiko infeksi. Pada situasi yang memungkinkan, reduksi dini dan fiksasi interna dari fraktur dapat dijalankan dengan aman pada kebanyakan pasien luka bakar.
Fraktur pada pasien dengan luka bakar yang luas ditangani dengan pemasangan bidai atau traksi hingga resusitasi selesai. Tindakan operatif dilakukan dalam 72 jam pasca cedera. Jika flksasi interna tidak memungkinkan, maka dilakukan flksasi eksterna yang memungkinkan akses pada luka bakar dengan stabilitas praktis yang efektif.

DAFTAR PUSTAKA

1. Schwartz, S.I. Principles of Surgery. 1994. New York, McGRAW-HILL, INC.
2. Sabiston, D.C. Buku Ajar Bedah bag.1. 1992. Jakarta, EGC.
3. Sjamsuhidajat, R dan de Jong, Wim. Buku Ajar ilmu Bedah, ed. 2. 2004.
Jakarta, EGC.
4. American College of Surgeons. Advanced Trauma Life Support, 6th edition.
1997. USA, First Impression.
5. http://en.wikipedia.org/wiki/Burn_(injury).

Rabu, 27 Agustus 2008

spondilitis TBC

SPONDILITIS TUBERKULOSIS

PENDAHULUAN

Spondilitis tuberkulosis merupakan penyakit tertua dalam sejarah manusia. Penyakit ini dilaporkan ditemukan pada mummi di Mesir dan Peru. Percival Pott, ahli bedah Inggris, menemukan kuman tuberkulosis pada vertebra. Spondilitis tuberkulosa dikenal juga sebagai penyakit Pott, paraplegi Pott. Nama Pott itu merupakan penghargaan bagi Pervical Pott yang pada tahun 1879 menulis dengan tepat tentang penyakit tersebut. Seiring dengan berkembangnya pengetahuan masyarakat tentang kesehatan dan tersedianya obat tuberkulosis, penyakit ini sudah jarang ditemui pada negara maju tetapi masih ditemui pada negara berkembang.

Pada negara berkembang spondilitis tuberkulosis biasanya muncul pada anak-anak karena rendahnya pertahanan tubuh. Penyakit ini merupakan penyebab paraplegia terbanyak setelah trauma, dan banyak dijumpai di Negara berkembang.

Tuberkulosis yang mengenai vertebra memiliki angka kesakitan yang tinggi karena dapat menyebabkan defisit neurologis dan deformitas berat. Penatalaksanaan konservatif dan operatif yang adekuat memberikan prognosis yang baik.

INSIDEN DAN EPIDEMIOLOGI

Spondilitis tuberkulosa merupakan 50% dari seluruh tuberkulosis tulang dan sendi. Pada negara yang sedang berkembang, sekitar 60% kasus terjadi pada usia dibawah usia 20 tahun sedangkan pada negara maju, lebih sering mengenai pada usia yang lebih tua. Meskipun perbandingan antara pria dan wanita hampir sama, namun biasanya pria lebih sering terkena dibanding wanita yaitu 1,5:2,1. Di Ujung Pandang spondilitis tuberkulosa ditemukan sebanyak 70% dari seluruh tuberkulosis tulang dan sendi. Umumnya penyakit ini menyerang orang-orang yang berada dalam keadaan sosial ekonomi rendah.(1,3,4,5,6,7)

DEFINISI

Tuberkulosis tulang belakang atau dikenal juga dengan spondilitis tuberkulosa merupakan peradangan granulomatosa yang bersifat kronik destruktif yang disebabkan oleh mikobakterium tuberkulosa.

Tuberkulosis yang muncul pada tulang belakang merupakan tuberkulosis sekunder yang biasanya berasal dari tuberkulosis ginjal. Berdasarkan statistik, spondilitis tuberkulosis atau Pott’s disease paling sering ditemukan pada vertebra torakalis segmen posterior dan vertebra lumbalis segmen anterior (T8-L3), coxae dan lutut serta paling jarang pada vertebra C1-2. (1,2,3,4)

Tuberkulosis pada vertebra ini sering terlambat dideteksi karena hanya terasa nyeri punggung/pinggang yang ringan. Pasien baru memeriksakan penyakitnya bila sudah timbul abses ataupun kifosis.

ETIOLOGI

Tuberkulosis tulang belakang merupakan infeksi sekunder dari tuberkulosis di tempat lain di tubuh, 90-95% disebabkan oleh mikobakterium tuberkulosis tipik (2/3 dari tipe human dan 1/3 dari tipe bovin) dan 5-10% oleh mikobakterium tuberkulosa atipik. Kuman ini berbentuk batang, mempunyai sifat khusus yaitu tahan terhadap asam pada pewarnaan. Oleh karena itu disebut pula sebagai Basil Tahan Asam (BTA). Namun, Basil ini tidak berspora sehingga mudah dibasmi dengan pemanasan, sinar matahari, dan sinar ultraviolet, tetapi dapat bertahan hidup beberapa jam di tempat yang gelap dan lembab. Dalam jaringan tubuh kuman ini dapat dorman, tertidur lama selama beberapa tahun.(1,8) Basil tipe bovin berada dalam susu sapi yang menderita mastitis tuberkulosis dan bila diminum akan menyebabkan tuberkulosis usus. Basil tipe human berada dalam bercak ludah (droplet) orang yang terinfeksi tuberkulosis.

PATOGENESIS

Basil TB masuk ke dalam tubuh sebagian besar melalui traktus respiratorius. Pada saat terjadi infeksi primer, karena keadaan umum yang buruk maka dapat terjadi basilemia. Penyebaran terjadi secara hematogen. Basil TB dapat tersangkut di paru, hati limpa, ginjal dan tulang. Enam hingga 8 minggu kemudian, respons imunologik timbul dan fokus tadi dapat mengalami reaksi selular yang kemudian menjadi tidak aktif atau mungkin sembuh sempurna. Vertebra merupakan tempat yang sering terjangkit tuberkulosis tulang. Penyakit ini paling sering menyerang korpus vertebra. Penyakit ini pada umumnya mengenai lebih dari satu vertebra. Infeksi berawal dari bagian sentral, bagian depan, atau daerah epifisial korpus vertebra. Kemudian terjadi hiperemi dan eksudasi yang menyebabkan osteoporosis dan perlunakan korpus. Selanjutnya terjadi kerusakan pada korteks epifise, discus intervertebralis dan vertebra sekitarnya. Kerusakan pada bagian depan korpus ini akan menyebabkan terjadinya kifosis yang dikenal sebagai gibbus. Berbeda dengan infeksi lain yang cenderung menetap pada vertebra yang bersangkutan, tuberkulosis akan terus menghancurkan vertebra di dekatnya.(1,2,3,4,9)

Kemudian eksudat (yang terdiri atas serum, leukosit, kaseosa, tulang yang fibrosis serta basil tuberkulosa) menyebar ke depan, di bawah ligamentum longitudinal anterior dan mendesak aliran darah vertebra di dekatnya. Eksudat ini dapat menembus ligamentum dan berekspansi ke berbagai arah di sepanjang garis ligament yang lemah.(1,2,3,5)

Pada daerah servikal, eksudat terkumpul di belakang fasia paravertebralis dan menyebar ke lateral di belakang muskulus sternokleidomastoideus. Eksudat dapat mengalami protrusi ke depan dan menonjol ke dalam faring yang dikenal sebagai abses faringeal. Abses dapat berjalan ke mediastinum mengisi tempat trakea, esophagus, atau kavum pleura. Abses pada vertebra torakalis biasanya tetap tinggal pada daerah toraks setempat menempati daerah paravertebral, berbentuk massa yang menonjol dan fusiform. Abses pada daerah ini dapat menekan medulla spinalis sehingga timbul paraplegia. Abses pada daerah lumbal dapat menyebar masuk mengikuti muskulus psoas dan muncul di bawah ligamentum inguinal pada bagian medial paha. Eksudat juga dapat menyebar ke daerah krista iliaka dan mungkin dapat mengikuti pembuluh darah femoralis pada trigonum skarpei atau regio glutea.(1,2,3,5)

Menurut Gilroy dan Meyer (1979), abses tuberkulosis biasanya terdapat pada daerah vertebra torakalis atas dan tengah, tetapi menurut Bedbrook (1981) paling sering pada vertebra torakalis 12 dan bila dipisahkan antara yang menderita paraplegia dan nonparaplegia maka paraplegia biasanya pada vertebra torakalis10 sedang yang non paraplegia pada vertebra lumbalis. Penjelasan mengenai hal ini sebagai berikut : arteri induk yang mempengaruhi medulla spinalis segmen torakal paling sering terdapat pada vertebra torakal 8-lumbal 1 sisi kiri. Trombosis arteri yang vital ini akan menyebabkan paraplegia. Faktor lain yang perlu diperhitungkan adalah diameter relatif antara medulla spinalis dengan kanalis vertebralisnya. Intumesensia lumbalis mulai melebar kira-kira setinggi vertebra torakalis 10, sedang kanalis vertebralis di daerah tersebut relative kecil. Pada vertebra lumbalis 1, kanalis vertebralisnya jelas lebih besar oleh karena itu lebih memberikan ruang gerak bila ada kompresi dari bagian anterior. Hal ini mungkin dapat menjelaskan mengapa paraplegia lebih sering terjadi pada lesi setinggi vertebra torakal 10.(1,2,5)

Kerusakan medulla spinalis akibat penyakit Pott terjadi melalui kombinasi 4 faktor yaitu (2):
1. Penekanan oleh abses dingin
2. Iskemia akibat penekanan pada arteri spinalis
3. Terjadinya endarteritis tuberkulosa setinggi blokade spinalnya
4. Penyempitan kanalis spinalis akibat angulasi korpus vertebra yang rusak

Kumar membagi perjalanan penyakit ini dalam 5 stadium yaitu :(1)

1. Stadium implantasi.

Setelah bakteri berada dalam tulang, maka bila daya tahan tubuh penderita
menurun, bakteri akan berduplikasi membentuk koloni yang berlangsung selama
6-8 minggu. Keadaan ini umumnya terjadi pada daerah paradiskus dan pada anak-
anak umumnya pada daerah sentral vertebra.

2. Stadium destruksi awal

Setelah stadium implantasi, selanjutnya terjadi destruksi korpus vertebra serta
penyempitan yang ringan pada discus. Proses ini berlangsung selama 3-6 minggu.

3. Stadium destruksi lanjut

Pada stadium ini terjadi destruksi yang massif, kolaps vertebra dan terbentuk massa
kaseosa serta pus yang berbentuk cold abses (abses dingin), yang tejadi 2-3 bulan
setelah stadium destruksi awal. Selanjutnya dapat terbentuk sekuestrum serta
kerusakan diskus intervertebralis. Pada saat ini terbentuk tulang baji terutama di
sebelah depan (wedging anterior) akibat kerusakan korpus vertebra, yang
menyebabkan terjadinya kifosis atau gibbus.

4. Stadium gangguan neurologis

Gangguan neurologis tidak berkaitan dengan beratnya kifosis yang terjadi, tetapi
terutama ditentukan oleh tekanan abses ke kanalis spinalis. Gangguan ini ditemukan 10% dari seluruh komplikasi spondilitis tuberkulosa. Vertebra torakalis mempunyai kanalis spinalis yang lebih kecil sehingga gangguan neurologis lebih mudah terjadi pada daerah ini. Bila terjadi gangguan neurologis, maka perlu dicatat derajat kerusakan paraplegia, yaitu :

Derajat I : Kelemahan pada anggota gerak bawah terjadi setelah melakukan
aktivitas atau setelah berjalan jauh. Pada tahap ini belum terjadi
gangguan saraf sensoris.

Derajat II : Terdapat kelemahan pada anggota gerak bawah tapi penderita masih
dapat melakukan pekerjaannya.

Derajat III : Terdapat kelemahan pada anggota gerak bawah yang membatasi
gerak/aktivitas penderita serta hipoestesia/anesthesia.

Derajat IV : Terjadi gangguan saraf sensoris dan motoris disertai gangguan
defekasi dan miksi. Tuberkulosis paraplegia atau Pott paraplegia
dapat terjadi secara dini atau lambat tergantung dari keadaan
penyakitnya.

Pada penyakit yang masih aktif, paraplegia terjadi oleh karena tekanan ekstradural dari abses paravertebral atau akibat kerusakan langsung sumsum tulang belakang oleh adanya granulasi jaringan. Paraplegia pada penyakit yang sudah tidak aktif/sembuh terjadi oleh karena tekanan pada jembatan tulang kanalis spinalis atau oleh pembentukan jaringan fibrosis yang progresif dari jaringan granulasi tuberkulosa. Tuberkulosis paraplegia terjadi secara perlahan dan dapat terjadi destruksi tulang disertai angulasi dan gangguan vaskuler vertebra.

5. Stadium deformitas residual

Stadium ini terjadi kurang lebih 3-5 tahun setelah timbulnya stadium implantasi.
Kifosis atau gibbus bersifat permanen oleh karena kerusakan vertebra yang massif di sebelah depan.

tb_spine_gibbus.jpg

Penyebaran basil ke vertebra menyebabkan spondilitis yang mengenai korpus vertebra. Spondilitis tuberkulosis ditandai dengan destruksi progresif yang lambat pada bagian anterior corpus vertebra disertai osteoporosis regional. Spondilitis korpus vertebra ini dibagi menjadi 3 bentuk:

  1. bentuk sentral dengan destruksi awal pada sentral korpus vertebra yang dekat dengan lempeng subkondral (biasanya ditemukan pada anak-anak)
  2. bentuk paradiskus terletak di bagian korpus vertebra yang bersebelahan dengan diskus intervertebralis (biasanya ditemukan pada orang dewasa)
  3. bentuk anterior dengan lokus awal di korpus vertebra bagian anterior yang merupakan perjalanan per kontinuitatum dari vertebra di atasnya

Proses infeksi kadang disertai pembentukan banyak cairan yang nantinya mengalami nekrosis. Nekrosis ini bisa menghasilkan massa seperti keju (limfadenitis kaseosa) yang mencegah pembentukan tulang dan membuat tulang menjadi avaskuler sehingga timbul tuberculous sequstra. Jaringan granulasi tuberkulosis masuk ke dalam korteks korpus vertebra membentuk abses paravertebra yang meluas hingga ke beberapa vertebra, ke atas, ke bawah, ligamen longitudinal anterior dan posterior.

Sering juga terjadi fistel tunggal atau multiple di kulit dari limfadenitis tuberkulosis di leher atau di lipat paha. Bila spondilitis sudah mengenai vertebra torakal atau lumbal maka nanahnya akan dikeluarkan melalui fasia otot psoas yang merupakan locus minoris resistance sehingga terbentuk abses psoas. Abses ini dapat turun ke region inguinal dan teraba sebagai benjolan. Abses yang terbentuk merupakan abses dingin tanpa disertai tanda-tanda radang.

Abses juga dapat berkumpul dan mendesak ke arah belakang sehingga menekan medulla spinalis dan mengakibatkan Pott’s paraplegia. Gejala awal paraplegia dimulai dengan kaki terasa kaku, lemah atau penurunan koordinasi tungkai. Proses ini dimulai dari penurunan daya kontraksi otot tungkai dan peningkatan tonusnya sehingga terjadi spasme otot fleksor dan akhirnya terjadi kontraktur.

Paraplegia kebanyakan ditemukan di daerah torakal, bukan lumbal karena kanalis lumbalis agak longgar dan kauda equine tidak mudah tertekan. Diskus intervertebralis yang avaskuler resisten terhadap infeksi tuberkulosis, namun diskus di sekitarnya menyempit karena dehidrasi bahkan dapat dirusak oleh jaringan granulasi tuberkulosis. Destruksi progresif bagian anterior korpus vertebra menyebabkan kolapsnya bagian tersebut sehingga terjadi kifosis.

GEJALA KLINIS

Secara klinik gejala tuberkulosis tulang belakang hampir sama dengan gejala tuberkulosis pada umumnya, yaitu badan lemah/lesu, nafsu makan berkurang, berat badan menurun, suhu sedikit meningkat (subfebril) terutama pada malam hari serta sakit pada punggung. Pada anak-anak sering disertai dengan menangis pada malam hari.(1,5)
Pada awal dapat dijumpai nyeri radikuler yang mengelilingi dada atau perut,kemudian diikuti dengan paraparesis yang lambat laun makin memberat, spastisitas, klonus,, hiper-refleksia dan refleks Babinski bilateral.

Pada stadium awal ini belum ditemukan deformitas tulang vertebra, demikian pula belum terdapat nyeri ketok pada vertebra yang bersangkutan. Nyeri spinal yang menetap, terbatasnya pergerakan spinal, dan komplikasi neurologis merupakan tanda terjadinya destruksi yang lebih lanjut. Kelainan neurologis terjadi pada sekitar 50% kasus,termasuk akibat penekanan medulla spinalis yang menyebabkan paraplegia, paraparesis, ataupun nyeri radix saraf. Tanda yang biasa ditemukan di antaranya adalah adanya kifosis (gibbus), bengkak pada daerah paravertebra, dan tanda-tanda defisit neurologis seperti yang sudah disebutkan di atas.(2,3,6,7,10)

Pada tuberkulosis vertebra servikal dapat ditemukan nyeri di daerah belakang kepala, gangguan menelan dan gangguan pernapasan akibat adanya abses retrofaring.(1)
Harus diingat pada mulanya penekanan mulai dari bagian anterior sehingga gejala klinis yang muncul terutama gangguan motorik. Gangguan sensorik pada stadium awal jarang dijumpai kecuali bila bagian posterior tulang juga terlibat.(2)

Secara umun Gejala klinis yang timbul berupa:

  • nyeri pinggang atau punggung
  • nyeri tekan lokal disertai spasme otot
  • abses paravertebra dan abses psoas yang merupakan abses dingin
  • gibbus bila ada kompresi vertebra
  • parestesi dan kelemahan pada ekstremitas inferior

PEMERIKSAAN PENCITRAAN

Pada pemeriksaan roentgen ditemukan lesi osteolitik pada pars anterior korpus vertebra, osteoporosis regional dan penyempitan diskus intervertebralis akibat destruksi korpus vertebra yang mengenai diskus sehingga diskus iskemi dan menjadi nekrosis pada stadium awal, sementara pada stadium lanjut ditemukan destruksi pars anterior korpus vertebra yang menyebar ke vertebra dan gambaran bayangan otot psoas yang melebar karena adanya abses psoas ataupun bayangan paravertebra karena terbentuknya abses paravertebra. Pada CT Scan dan MRI, gambaran di atas akan tampak lebih jelas.

PEMERIKSAAN LABORATORIUM

  • Tes tuberculin positif.
  • LED meningkat.
  • Pemeriksaan sedimen meningkat.

DIAGNOSIS

Diagnosis dapat ditegakkan dari gejala klinik, pemeriksaan pencitraan dan aspirasi pus abses paravertebra, yaitu ditemukannya basil tuberkulosis.

Klinis
Penyakit ini berkembang lambat, tanda dan gejalanya dapat berupa :(1,2,4)

v Nyeri punggung yang terlokalisir

v Bengkak pada daerah paravertebral

v Tanda dan gejala sistemik dari TB

v Tanda defisit neurologis, terutama paraplegia

Pemeriksaan Laboratorium:(1,2,4,5,6,11)

v Peningkatan LED dan mungkin disertai leukositosis

v Uji Mantoux positif

v Pada pewarnaan Tahan Asam dan pemeriksaan biakan kuman mungkin ditemukan mikobakterium

v Biopsi jaringan granulasi atau kelenjar limfe regional.

v Pemeriksaan histopatologis dapat ditemukan tuberkel

v Pungsi lumbal., harus dilakukan dengan hati-hati ,karena jarum dapat menembus masuk abses dingin yang merambat ke daerah lumbal. Akan didapati tekanan cairan serebrospinalis rendah, test Queckenstedt menunjukkan adanya blokade sehingga menimbulkan sindrom Froin yaitu kadar protein likuor serebrospinalis amat tinggi hingga likuor dapat secara spontan membeku.

Pemeriksaan Radiologis:(1,2,3,4,5,7,11,12)

v Pemeriksaan foto toraks untuk melihat adanya tuberkulosis paru.

v Foto polos vertebra, ditemukan osteoporosis, osteolitik dan destruksi korpus vertebra, disertai penyempitan discus intervertebralis yang berada di antara korpus tersebut dan mungkin dapat ditemukan adanya massa abses paravertebral. Pada foto AP, abses paravertebral di daerah servikal berbentuk sarang burung (bird’s net), di daerah torakal berbentuk bulbus dan pada daerah lumbal abses terlihat berbentuk fusiform. Pada stadium lanjut terjadi destruksi vertebra yang hebat sehingga timbul kifosis.

v Pemeriksaan CT scan

- CT scan dapat memberi gambaran tulang secara lebih detail dari lesi
irreguler, skelerosis, kolaps diskus dan gangguan sirkumferensi tulang.

- Mendeteksi lebih awal serta lebih efektif umtuk menegaskan bentuk dan
kalsifikasi dari abses jaringan lunak.

Terlihat destruksi litik pada vertebra (panah hitam) dengan abses soft-tissue (panah putih)

v Pemeriksaan MRI

- Mengevaluasi infeksi diskus intervertebra dan osteomielitis tulang belakang.

- Menunjukkan adanya penekanan saraf.

PENATALAKSANAAN

Tujuan penatalaksanaan terhadap tuberkulosis pada vertebra ini adalah untuk menghilangkan kuman penyebab, mencegah deformitas dan komplikasi berupa paraplegi.

Pada prinsipnya pengobatan tuberkulosis tulang belakang harus dilakukan sesegera mungkin untuk menghentikan progresivitas penyakit serta mencegah paraplegia.(1)
Prinsip pengobatan paraplegia Pott sebagai berikut :(2)

1. Pemberian obat antituberkulosis
2. Dekompresi medulla spinalis
3. Menghilangkan/ menyingkirkan produk infeksi
4. Stabilisasi vertebra dengan graft tulang (bone graft)

Pengobatan terdiri atas :(1)

1. Terapi konservatif berupa:

a. Tirah baring (bed rest)

b. Memberi korset yang mencegah gerakan vertebra /membatasi gerak vertebra

c. Memperbaiki keadaan umum penderita

d. Pengobatan antituberkulosa

Pott's disease

Standar pengobatan di indonesia berdasarkan program P2TB paru adalah :

- Kategori 1

Untuk penderita baru BTA (+) dan BTA(-)/rontgen (+), diberikan dalam 2 tahap ;
Tahap 1 : Rifampisin 450 mg, Etambutol 750 mg, INH 300 mg dan Pirazinamid 1.500 mg. Obat ini diberikan setiap hari selama 2 bulan pertama (60 kali).
Tahap 2: Rifampisin 450 mg, INH 600 mg, diberikan 3 kali seminggu (intermitten) selama 4 bulan (54 kali).

- Kategori 2

Untuk penderita BTA(+) yang sudah pernah minum obat selama sebulan, termasuk penderita dengan BTA (+) yang kambuh/gagal yang diberikan dalam 2 tahap yaitu :

v Tahap I diberikan Streptomisin 750 mg , INH 300 mg, Rifampisin 450 mg, Pirazinamid 1500mg dan Etambutol 750 mg. Obat ini diberikan setiap hari , Streptomisin injeksi hanya 2 bulan pertama (60 kali) dan obat lainnya selama 3 bulan (90 kali).

v Tahap 2 diberikan INH 600 mg, Rifampisin 450 mg dan Etambutol 1250 mg. Obat diberikan 3 kali seminggu (intermitten) selama 5 bulan (66 kali).

Kriteria penghentian pengobatan yaitu apabila keadaan umum penderita bertambah baik, laju endap darah menurun dan menetap, gejala-gejala klinis berupa nyeri dan spasme berkurang serta gambaran radiologik ditemukan adanya union pada vertebra.

2. Terapi operatif

Indikasi operasi yaitu:

v Bila dengan terapi konservatif tidak terjadi perbaikan paraplegia atau malah semakin berat. Biasanya tiga minggu sebelum tindakan operasi dilakukan, setiap spondilitis tuberkulosa diberikan obat tuberkulostatik.

v Adanya abses yang besar sehingga diperlukan drainase abses secara terbuka dan sekaligus debrideman serta bone graft.

v Pada pemeriksaan radiologis baik dengan foto polos, mielografi ataupun pemeriksaan CT dan MRI ditemukan adanya penekanan langsung pada medulla spinalis. Walaupun pengobatan kemoterapi merupakan pengobatan utama bagi penderita tuberkulosis tulang belakang, namun tindakan operatif masih memegang peranan penting dalam beberapa hal, yaitu bila terdapat cold abses (abses dingin), lesi tuberkulosa, paraplegia dan kifosis.

Abses Dingin (Cold Abses)

Cold abses yang kecil tidak memerlukan tindakan operatif oleh karena dapat terjadi resorbsi spontan dengan pemberian tuberkulostatik. Pada abses yang besar dilakukan drainase bedah. Ada tiga cara menghilangkan lesi tuberkulosa, yaitu:

a. Debrideman fokal
b. Kosto-transveresektomi
c. Debrideman fokal radikal yang disertai bone graft di bagian depan.
Paraplegia
Penanganan yang dapat dilakukan pada paraplegia, yaitu:

a. Pengobatan dengan kemoterapi semata-mata

b. Laminektomi

c. Kosto-transveresektomi

d. Operasi radikalOsteotomi pada tulang baji secara tertutup dari belakang

Operasi kifosis

Operasi kifosis dilakukan bila terjadi deformitas yang hebat,. Kifosis mempunyai tendensi untuk bertambah berat terutama pada anak-anak. Tindakan operatif dapat berupa fusi posterior atau melalui operasi radikal.

Penatalaksanaan terhadap penyakit tuberkulosis meliputi:

§ Konservatif: tuberkulostatik (rifampisin, isoniazid dan etambutol), diet yang bergizi, bed rest di papan keras

§ Operatif: bedah kostotransversektomi berupa debridement untuk mengeluarkan pus, sequester yang mengandung tuberkulosis dan mengganti tulang yang terinfeksi dengan bone graft. Penatalaksanaan operatif dilakukan bila sudah terjadi defisit neurologis, deformitas berat, dan tidak adanya respons terhadap obat-obatan.

Apabila fasilitas tidak memadai maka terapi dengan OAT yang adekuat dan pemakaian spinal brace/gips sudah cukup.

KOMPLIKASI

Komplikasi dari spondilitis tuberkulosis yang paling serius adalah Pott’s paraplegia yang apabila muncul pada stadium awal disebabkan tekanan ekstradural oleh pus maupun sequester, atau invasi jaringan granulasi pada medula spinalis dan bila muncul pada stadium lanjut disebabkan oleh terbentuknya fibrosis dari jaringan granulasi atau perlekatan tulang (ankilosing) di atas kanalis spinalis.

Mielografi dan MRI sangatlah bermanfaat untuk membedakan penyebab paraplegi ini. Paraplegi yang disebabkan oleh tekanan ekstradural oleh pus ataupun sequester membutuhkan tindakan operatif dengan cara dekompresi medulla spinalis dan saraf.

Komplikasi lain yang mungkin terjadi adalah ruptur dari abses paravertebra torakal ke dalam pleura sehingga menyebabkan empiema tuberkulosis, sedangkan pada vertebra lumbal maka nanah akan turun ke otot iliopsoas membentuk psoas abses yang merupakan cold abscess.

DIAGNOSIS BANDING

Spondilitis tuberkulosis harus dibedakan dari poliomyelitis, penyakit paru dengan empiema, rheumatoid arthritis, gout, dan fraktur kompresi pada vertebra yang traumatic ataupun akibat tumor.

PROGNOSIS

Prognosis spondilitis tuberkulosis tergantung pada cepatnya dilakukan terapi, sensitivitas kuman tuberkulosis terhadap obat anti tuberkulosis dan ada tidaknya komplikasi neurologik. Untuk spondilitis dengan paraplegia awal, prognosis untuk kesembuhan sarafnya lebih baik, sedangkan spondilitis dengan paraplegia akhir, prognosisnya kurang baik.

Diagnosis sedini mungkin, dan dengan pengobatan yang tepat, prognosisnya baik meskipun tanpa tindakan operatif. Penyakit dapat kambuh jika pengobatan tidak teratur atau tidak dilanjutkan setelah beberapa saat, yang dapat menyebabkan terjadinya resistensi terhadap pengobatan.(7)

DAFTAR PUSTAKA

1. Rasjad C. Spondilitis Tuberkulosa dalam Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi. Ed.II. Makassar: Bintang Lamumpatue. 2003. p. 144-149

2. Harsono. Spondilitis Tuberkulosa dalam Kapita Selekta Neurologi. Ed. II. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. 2003. p. 195-197

3. Anonim. Spondylitis Tuberkulosa. [Online]. 2007 Sept 13 [cited 2008 Feb 27];[3 screens]. Available from: URL:http:// www.medlinux.blogspot.com

4. Anonim. Introduction. [Online]. 2007 Sept 26 [cited 2008 Feb 27];[3 screens]. Available from: URL:http://www.bsac.org.uk

5. Hidalgo, JA. Pott Disease. [Online]. 2005 Aug 25 [cited 2008 Feb 27];[17 screens]. Available from: URL:http:www.eMedicine.com/med/topic

6. Anonim. Penyakit paget pada tulang. [Online]. 2006 Oct [cited 2008 Feb 27];[2 screens]. Available from: URL:http://www.patient.co.uk/showdoc/40001278/

7. Anonim. Paget’s disease of bone. [Online]. 2005 Oct [cited 2008 Feb 27];[4 screens]. Available from: URL:http:// www.thamburaj.com

8. Tamburaf, V. Spinal Tuberculosis. [Online]. 2006 Oct [cited 2008 Des 27];[4 screens]. Available from: URL:http://www.infeksi.com

9. Harisinghani, MG. Tuberculosis from Head to Toe. [Online]. 1999 Feb 19 [cited 2008 Des 27];[4 screens]. Available from: URL:http://www.nejm.com

10. Yanardag, H. Pott Disease. [Online]. 1999 Feb 19 [cited 2008 Des 27];[5 screens]. Available from: URL:http://www.ispub.com

11. Sinan, T. Spinal tuberculosis: CT and MRI features. [Online]. 1999 Feb 19 [cited 2008 Des 27];[5 screens]. Available from: URL:http://www.kfshrc.edu.sa

12. Danchaivijitr, N. Diagnostic Accuracy of MR Imaging in Tuberculous Spondylitis. [Online]. 2007 Feb 19 [cited 2008 Des 27];[5 screens]. Available from: URL:http://www.medassocthai.org/journal

13. Bailey & Love’s. Short Practice of Surgery. 21st edition. Page 56-58. London: Chapman and Hall Medical. 1992.

14. Sjamsuhidayat, R., Wim de Jong. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi Revisi. Halaman 14-20. Jakarta: Penerbit EGC. 1997.

15. Salter, Robert Bruce. Textbook of Disorder and Injuries of the Musculoskeletal System. 3rd edition. Amerika Serikat: Williams and Wilkins. 1999

16. Tierney, Laurence M., et al. Current Medical Diagnosis and Treatment. 42nd edition. Page 1477-1485. Amerika Serikat: Mc. Graw-Hill Companies. 2003.

17. http://www.allreferhealth.com/

18. http://www.emedicine.com/